Agaknya kini, tanpa gebyar media massa telah beroperasi Alipay, alat transaksi non-tunai (e-Money) milik Jack Ma dan WeChat punya Xiaolong Zhang. Hanya operasional memakai nama lain. Mungkin disamarkan akibat kasus pahit di Bali (baca: Membaca Jaringan Cina di Bali dari Perspektif Geopolitik) yang dilarang Gubernur Wayan Koster karena selain aktivitas ekonomi tersebut tidak ada kontribusi terhadap pemda dan masyarakat sekitar, juga di Bali kemarin belum ada otoritas keuangan domestik yang digandeng.
Hari ini, Alipay atau WeChat menggandeng pemain lokal Alto Halodigital Internasional (AHDI) sesuai syarat bisnis di dalam negeri. Dan usai paparan di depan Bank Indonesia (BI), Alipay dengan mitra lokalnya AHDI sudah bisa jalan dan BI tak melarang meski belum terbit piranti lunaknya.
Kedua platform asal Cina terus berekspansi. Alipay menggandeng PT Elang Mahkota Teknologi Tbk dengan nama DANA (Dompet Digital Indonesia). BNI pun berencana akan merangkul Alipay dan WeChat, dan lain-lain. Konon, kesuksesan dua platform ini mampu mengalahkan bank-bank di Cina karena hampir 92% transaksi pembayaran di Cina dikuasai oleh dua pemain ini.
Secara bisnis dan kebijakan — investasi kedua platform ini syah-syah saja karena sifatnya B to B kendati hal tersebut menabrak UU BI dimana semua transaksi di Indonesia wajib memakai rupiah. Dan secara geopolitik, sesungguhnya dimensi ruang (non-teritorial) Indonesia telah tercaplok dan frontier bakal kian menebal serta meluas karena ekspansi dua platform asal Cina tadi diprakirakan tak akan berhenti untuk memperluas ruang “hegemoni”-nya. Kelak jika Alipay dan WeChat semakin besar, melebar dan meluas penggunaannya di masyarakat, apakah Indonesia bakal bernasib seperti Angola dan Zimbabwe? Ah, entahlah. Hanya saja, kedua negara di Afrika riil memakai Yuan, mata uang Cina, sedang kita menggunakan e-Money, milik Cina juga.