Dalam "bungkus" resmi, Paus merupakan pimpinan tertinggi sebuah institusi terbesar dan paling berkuasa di dunia yang bernama Tahta Suci Vatikan. Paus adalah orang suci dan disucikan, bahkan dia kerap disapa dengan “Bapa Suci”. Tiap perkataan yang keluar dari bibirnya menjadi titah bagi umat Katolik sedunia.
Namun tahukah Anda bahwa Paus adalah ternyata juga manusia biasa yang kerap melakukan salah. Ironisnya, kesalahan itu banyak pula yang dilakukannya dengan sadar dan disengaja. Tulisan ini berupaya memotret sosok Paus sebagai manusia apa adanya, yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang kadang cenderung kepada kebaikan dan terkadang meluncur jatuh kepada keburukan.
Berbagai sikap dan tindakan Paus yang akan dipaparkan di dalam tulisan bersambung ini meliputi kontroversi hidup selibat yang ternyata tidak semua Paus dan Orang Suci (Santo atau Santa) mengikutinya, ada pula kasus pandangan politik para Paus yang tidak satu, karena ada Paus yang mendukung Zionis-Israel namun ada pula yang pro Nazi-Hitler.
Selain itu ada pula Paus yang mengutamakan prinsip bisnis material dunia dibanding mengutamakan norma-norma moralitas dan kemanusiaan. Bahkan menggiring Vatikan untuk terlibat dalam bisnis senjata dan alat kontrasepsi, sesuatu yang selalu ditentang Vatikan di dalam kotbah-kotbahnya.
Dogma Hidup Selibat
Dogma hidup selibat atau berpantang menikah bagi seorang Paus—dan juga bagi para Biarawati dan Biarawan atau Pendeta Katolik—sudah menjadi tradisi yang berjalan ratusan bahkan ribuan tahun. Namun ternyata, dogma yang dikatakan mengikuti “jalan hidup” Yesus yang mereka yakini tidak pernah menikah dalam hidupnya itu, sesungguhnya tidak berasal dari awal Katolikisme itu sendiri.
Santo Petrus sebagai peletak batu Tahta Suci Vatikan pertama, sehingga namanya diabadikan dalam nama Basilika Santo Petrus, ternyata tidak menjalankan hidup selibat. Santo Petrus menikah dan memiliki anak keturunan. Injil-Injil Kanonik seperti Injil Markus, Matius, dan Lukas menyebutkan fakta bahwa Paus pertama ini memiliki seorang isteri ketika Yesus menemuinya.
Nigel Cawthorne dalam "Sex Lives of the Popes "(London, 2004) yang telah diindonesiakan menjadi "Rahasia Kehidupan Seks Para Paus’"(Alas, 2007), menulis bahwa Santo Paulus di dalam surat pertamanya kepada orang-orang Korintus menceritakan bahwa Petrus membawa serta isteri dan keluarganya dalam perjalanan-perjalanannya selama masa kerasulan. Jasad Santa Petronilia yang dikuburkan di Roma telah lama dimuliakan sebagai putri dari Santo Petrus.
Para sejarawan Barat sendiri masih silang pendapat soal apakah Yesus sungguh-sungguh hidup selibat ataukah telah melakukan pernikahan. Dalam Injil Gnostik macam Injil Thomas yang oleh Vatikan dimasukkan dalam kategori Injil Apokrif (Injil terlarang), disebutkan bahwa Yesus telah melangsungkan pernikahan di Qana, Lebanon. Pandangan Injil Gnostik ini selaras dengan Hukum Mishnais kaum Yahudi yang mengatakan, “Seorang lelaki yang tidak menikah tidak akan bisa menjadi Guru. ”
Dalam pandangan kelompok ini, adalah mustahil Yesus diterima menjadi seorang Guru dan Raja kaum Yahudi jika ia sendiri tidak menikah. Bahkan Yesus tidak mungkin bisa mengunjungi tanah suci dan berkotbah di sana jika ia belum menikah.
Bagi penulis "The Holy Blood Holy Grail" (Henry Lincoln dkk, 1982) disebutkan bahwa Yesus menikahi Maria Magdalena di Desa Qana, Lebanon. Bahkan Barbara Thieling dalam “Yesus The Man” menuturkan dengan berani bahwa pasangan Yesus dan Maria Magdalena memiliki anak, dua anak lelaki dan satu perempuan.
Pada tahun 44 M, lanjut Thieling, Yesus bercerai dengan Maria Magdalena dan menikahi Lydia, uskup perempuan dari para ‘perawan’ Thyiatira.
Namun yang lebih mengagetkan adalah apa yang termaktub di dalam Injil Thomas, salah satu Injil Gnostik, bahwa Yesus selain menikahi Maria Magdalena ternyata juga mengawini Salome “Sang Pemikat”.
Santo Paulus juga bukan bujangan. “Orang yang disucikan” ini berperan sangat besar dalam merancang dan membentuk dogma seksualitas Vatikan. Namun Cawthorne menulis, “…dia adalah seorang duda yang lama menderita akibat pernikahannya yang tidak membahagiakan. ”
Cawthorne mengutip surat pertama Santo Paulus kepada orang-orang Korintus yang berbunyi: “Apakah aku tidak punya hak untuk memiliki isteri beragama Kristen seperti para rasul yang lain?”
Paulus juga mengatakan, “Lebih baik menikah dari pada terbakar. ” Istilah ‘terbakar’ dianggap memiliki makna “terbakar nafsu”.
Dogma selibat bagi para Biarawati pun sesungguhnya tidak murni berasal dari Kekristenan awal, melainkan berasal dari ritual paganisme Roma yang diistilahkan dengan nama “Para Perawan Vesta” yang terdiri dari para pendeta perempuan Dewi Vesta yang salah satu tugasnya memelihara nyala api Vesta dengan menjaga keperawanannya.
“Hanya saja, para perawan Dewi Vesta ini pun jarang yang mampu menjaga kesuciannya. Banyak dari mereka yang dipenjarakan karena tidak mampu mempertahankan keperawanannya, ” tulis Cawthorne.
Dogma selibat yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan ini menimbulkan aib dalam perjalanan Gereja sejak masa awal. Paus Damasus I (366-384) merupakan salah satu Paus yang oleh Sekretarisnya sendiri, Santo Jerome, dituding sebagai Paus yang rendah moralitasnya. “Perawan Kristen berjatuhan setiap hari, ” ujar Santo Jerome.
Damasus akhirnya diseret oleh Dewan Gereja yang terdiri dari 44 Uskup dan dikenai tuduhan telah melakukan perzinahan. Walau demikian, ketika meninggal, Paus Damasus I diangkat sebagai ‘Santo’ atau Orang Suci.
Paus Clemens V (1305-1314) merupakan salah seorang Paus yang terkenal dalam sejarah Eropa. Dia-lah yang membantu Raja Perancis, King Philip Le Bel, dalam menumpas Ksatria Templar di tahun 1307. Dalam menumpas Templar, Paus Clemens menyatakan bahwa alasan penumpasan itu dikarenakan Templar telah banyak melakukan ‘Heresy’ atau Bidah terhadap Gereja.
Namun di sisi lain, Paus Clemens V ternyata oleh para sejarawan Barat juga dianggap sebagai orang yang suka berzina dan memiliki banyak gundik. Salah satu gundiknya yang terkenal bernama Countess Perigord, seorang perempuan cantik putri dari Earl Foix. Konon, siapa saja yang mencari berkah sang Paus harus menaruh surat permohonannya di dada putih sutera Countess Perigord.
Tentang Clemens, Catholic Encyclopaedia bahkan menulis, “Seorang pecinta hiburan, pecinta perjamuan yang mewah, di mana para perempuan amat bebas bergabung. ” Di masa Clemens-lah, institusi Gereja dibuat sedemikian kotor sehingga kecabulan terlihat dengan kasar dan ada di mana-mana.
Sejarawan Joseph McCabe bahkan menemukan adanya bukti jual-beli rumah bordil antara seorang pejabat kepausan dengan seorang janda dokter di mana dalam kertas pembelian itu tertulis, “Atas nama Tuhan Kita Yesus Kristus. ” (Cawthorme, hal. 126).
Dogma hidup selibat ternyata banyak dirusak oleh Paus dan Para Pendetanya sendiri. Para sejarawan Barat dengan teliti dan berani, menyingkap banyak ketidak-senonohan yang terjadi di Gereja pada masa-masa awal kekristenan hingga saat kini yang melibatkan Paus sendiri.
Sejumlah kasus yang melanda gereja, seperti paedofilia, perzinahan, dan sodomi, yang mencuat beberapa tahun lalu di beberapa negara sesungguhnya bukan hal yang baru. Karena di masa-masa dahulu yang terjadi bahkan jauh lebih menyeramkan ketimbang sekarang.
Dalam tulisan selanjutnya akan dikisahkan tentang sikap Paus Pius XI yang menjalin persekutuan dengan Mussolini dan Hitler dalam mengelola Bank Vatikan yang merupakan cikal bakal dari Vatikan Incorporated, salah satu institusi terkaya dan paling berpengaruh di dunia. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)