Amerika telah memilih. Barack Hussein Obama akhirnya terpilih sebagai Presiden AS ke-44, setelah dalam pemilu kemarin mengalahkan kandidat dari Partai Republik, Senator John McCain, dengan cukup telak. Obama merupakan presiden kulit hitam pertama di negeri yang mengklaim sebagai pengawal demokrasi dunia.
Kemenangan Obama disambut dengan sangat meriah tidak saja di dalam negeri, namun nyaris di seluruh dunia. Indonesia sebagai negeri di mana Obama pernah beberapa tahun menikmati masa kecilnya pun tidak ketinggalan tenggelam dalam histeria Obamaphoria. Berbagai acara mendukung dan menyambut Obama digelar, dari yang diadakan di pusat-pusat perbelanjaan, hingga di sekolah dasar daerah Menteng, Jakarta Pusat, di mana Obama pernah sekolah kurang dari dua tahun. Bahkan ada yang sampai menggelar acara doa bersama bagi Obama.
Obamaphoria dianggap sesuatu yang wajar, mengingat dunia sudah sedemikian jenuh dengan kesombongan politik luar negeri AS selama delapan tahun terakhir yang dipimpin George Walker Bush. Banyak kalangan, juga tokoh-tokoh Islam, mengharapkan AS bisa berubah di tangan pemimpin yang baru ini. Bahkan ada tokoh di negeri ini yang menyatakan sikap AS akan bisa lebih bersahabat dengan Indonesia, membantu perekonomian Indonesia, karena Obama pernah tinggal di negeri ini, walau sebentar. Harapan seperti ini boleh-boleh saja, walau cenderung utopis.
Kemenangan aktivis kemanusiaan berusia 47 tahun ini juga sebentar lagi bisa saja disabot oleh elit beberapa partai politik di Indonesia dengan menyatakan, “Barack Obama adalah inspirasi munculnya pemimpin muda, di bawah usia 50 tahun, yang sudah saatnya memimpin Indonesia. Berilah kami kesempatan untuk itu!” Orang-orang seperti ini melupakan pelajaran dasar sosiologi yang mengatakan, “Tidak ada kemenangan atau kenikmatan yang bisa diperoleh tanpa perjuangan.”
Melihat dengan Kritis
Reaksi dunia menyambut kemenangan seorang Obama dimana berbagai harapan besar dialamatkan kepadanya patut dilihat dengan kacamata yang jernih dan adil. Apakah benar seorang Obama akan bisa mengubah sifat politik luar negeri AS yang selama ini sangat menguntungkan gerakan Zionisme Internasional, sangat imperialistik, menjadi sikap politik luar negeri yang lebih berkeadilan dan tidak egois.
Jauh-jauh hari, di awal tahun 2000-an, Ustadz Rahmat Abdullah telah memberi tausiyah terkait kepemimpinan di AS. Beliau yang suka sekali dengan fabel atau perumpamaan dengan kisah-kisah binatang dalam tausiyah-tausiyahnya, menyatakan, “Kita tidak bisa terlalu berharap pada perubahan kepemimpinan di AS. Tidak akan pernah ada seorang calon presiden di negeri tersebut yang bisa tampil tanpa membawa restu dari lobi Yahudi yang sangat dominan di AS. Siapa pun presidennya, bahkan jika seekor monyet yang jadi Presiden AS, maka Amerika Serikat akan tetap seperti itu, tidak akan pernah berubah.”
Adalah fakta yang tidak bisa dibantah jika Obama mendapat dukungan dari lobi Zionis-Yahudi AS. Demikian pula dengan John McCain. Dan Obama pun dalam masa kampanyenya telah berkali-kali menyatakan dirinya akan selalu membela dan mengutamakan Zionis-Israel sampai kapan pun.
“Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan melakukan apapun yang saya bisa dalam kapasitas apapun untuk tidak hanya menjamin kemanan Israel tapi juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju dan makmur dan mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu,” kata Obama dalam sebuah acara yang disponsori oleh Kedutaan Besar Israel di Washington untuk menghormati hari jadi negara Israel yang ke-60.
Amerika Serikat adalah Israel besar dan Israel adalah Amerika Serikat kecil. Fakta ini sudah diketahui semua pengamat internasional dan dunia akademis. Proses kelahiran negara AS pun sesungguhnya dinisbahkan untuk melayani kepentingan Yahudi Internasional (baca Eramuslim Digest edisi ‘The New Jerusalem: The Secret History of America’). Lobi Yahudi menguasai seluruh sektor vital di AS. Bahkan (alm) Letjend (Pur) ZA. Maulani mencatat jika sejak masa Presiden Bill Clinton, seluruh posisi kunci di Kementerian Luar Negeri AS dipegang oleh Yahudi Radikal laki-laki, di pimpin oleh seorang—satu-satunya—perempuan Yahudi Radikal bernama Madelaine Albright.
Sebab itu, seperti yang telah dikatakan Ust. Rahmat Abdullah, siapa pun presidennya dan sampai kapan pun, AS akan tetap berkiblat dan berkhidmat kepada kepentingan Zionis Internasional. Adalah mustahil mengharapkan AS bisa bersahabat secara murni dengan Dunia Islam. Kenyataannya malah banyak raja dan bangsawan Arab yang menjual Islam untuk bisa bersahabat dengan Zionis AS. Hal inilah yang bisa menjelaskan mengapa resto McDonald’s yang merupakan salah satu perusahaan donatur terbesar Zionis-Israel (silakan klik www.inminds.co.uk) bisa mendirikan gerainya di Tanah Suci Mekkah. Atau mengapa Pangeran Walid dari Saudi bisa menjadi Komisaris dari perusahaan Yahudi bernama City Group. (bersambung/rd)