Khilafah pada masa ini memperoleh sifat “rayidah” karena berjalan sesuai manhaj nubuwwah. Dalam hal pengangkatan pemimpin pada periode khilafah rasyidah digambar secara ringkas oleh Syaikh Husein bin Mahmud sebagai berikut:
Ketika Rasulullah Saw wafat, beliau tidak menunjuk salah seorang pun untuk menjadi khalifah. Namun beliau hanya memberi beberapa isyarat yang mengarah kepada sahabat Abu Bakar As-Shiddiq. Ketika sahabat Anshar berkumpul di Saqifah, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Al-Faruq dan kepercayaan ummat ini (Abu Ubaidah bin Jarrah) datang menemui mereka dan setelah terjadi perdebatan sejenak, mereka pun menunjukkan Abu Bakar dan berbai’at kepadanya.
Kemudian diikuti oleh tokoh para sahabat dan Ahlul Halliy wal ‘Aqdi. Sehingga dengan demikian Abu Bakar pun menjadi khalifah kaum muslimin. Nah, ketika Abu Bakar merasa usianya sudah mendekati ajal, beliau pun bermusyawarah dengan tokoh para sahabatnya tentang ishtikhlaf Umar. Mayoritas di antara mereka setuju dengan pengangkatan Umar, meskipun ada beberapa yang menolak (dengan alasan Umar berwatak keras).
Abu Bakar pun terus mengadakan musyawarah sampai semuanya setuju. Setelah itu, beliau pun berkhotbah di depan penduduk Madinah dan meminta kesepakatan kepada mereka. Akhirnya mereka pun sepakat atas pilihannya. Dengan demikian Umar menjadi khalifah setelah dibai’at dan disetujui oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
Setelah Umar r.a ditikam, beliau meninggalkan perkara tersebut kepada enam orang Ahlus Syura, mereka adalah para sahabat yang dijamin masuk surga dan termasuk tokoh sahabat yang disetujui oleh manusia. Namun, enam orang tersebut menyerahkan urusan kepada Abdurrahman bin Auf untuk menentukan pilihan antara Ali dan Utsman. Mendapat amanah seperti itu, Abdurrahman pun bermusyawarah dengan seluruh para sahabat baik sahabat senior maupun yang junior.