Oleh Ustadz Agus hasan bashori Lc, MAg
Kaisar Napoleon Bonaparte (lahir di pulau Korsika, 15 Agustus 1769 – meninggal 5 Mei 1821. Napoleon di baptis sebagai katolik beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang kedua, tepatnya tanggal 21 Juli 1771 di Katerdal Ajaccio.
Dia adalah peimpin perancis yang besar dalam politik maupun militer. Hampir semua peperangan dia menangkan, kecuali beberapa peperangan dia mengalami kegagalan. Diantaranya dalam menginvasi daratan Mesir yang akibatnya berhadapan dengan kekuatan Inggris, Mamluk dan Utsmani.
Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam.
invasi Napoleon ke Mesir ini mengakhiri aliansi Franco-Ottoman yang telah terjalin selama lebih dari 2,5 abad. Aksi militer Napoleon tersebut ditujukan untuk memblokade jalur perdagangan antara Inggris dan wilayah jajahannya, India sekaligus membangun relasi dengan Tipu Sultan, yang menjadi musuh Inggris di India. Menghadapi serangan Perancis, Mesir yang pada saat itu dikuasai oleh kesultanan Utsmani dibantu oleh Inggris. Napoleon memang berhasil menguasai darat Mesir, namun armada lautnya berhasil dihancurkan oleh Inggris di sungai Nil. Berhasil menguasai secara de facto wilayah darat Mesir, Napoleon menghadapi sebuah tantangan baru: “menjinakkan” rakyat Mesir yang tidak setuju dengan pendudukan Perancis.
Mendapat penolakan keras dari rakyat Mesir, Napoleon mulai menggunakan retorika Islam sebagai bagian dari strateginya memerintah rakyat Mesir. Ia mengklaim sebagai orang yang berjasa membebaskan rakyat Mesir dari penindasan kesultanan Utsmani dan Mamluk. Pernyataan Napoleon, “I hope that time is not far off when I shall be able to unite all the wise and educated men of all countries and establish a uniform regime based on the principles of Qur’an which alone can lead men to happiness, merupakan surat Napoleon kepada Syeikh terkemuka di Alexandria, Syeikh Al-Masiri. Syeikh Al-Masiri adalah salah satu ulama yang kooperatif dengan pendudukan Perancis di Alexandria. Dalam surat tersebut, Napoleon menawarkan pertemuan dengan Syeikh Al-Masiri untuk membicarakan kemungkinan penerapan syariat Islam di Mesir sesuai dengan interpretasi para ulama, bukan syariat Islam yang selama ini diinterpretasikan oleh kesultanan Utsmani. (Juan Cole, 2007: 130).