Pemeluk Kristiani banyak yang percaya dan meyakini bahwa Hari Valentine merupakan salah satu hari raya keagamaan mereka. Bahkan mereka menyamakan dengan hari-hari raya yang disucikan lainnnya. Walau demikian, tidak semua pemeluk Kristen menganggap Hari Valentine merupakan hari raya kekristenan.
Ada pula yang kritis dan menyatakan, “Hari Valentine sama sekali tidak ada di dalam Injil, baik Injil Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.” Sayang, yang bersikap demikian jumlahnya lebih sedikit ketimbang yang mengikut saja ‘tradisi’ yang ada tanpa mau berpikir kritis.
Walau meyakini bahwa Hari Valentine merupakan salah satu hari raya kaum Kristiani, jika ditanya asal-muasal Hari Valentine, maka mereka akan menjawab bahwa momentum itu berasal dari hari raya orang-orang Pagan Romawi Kuno yang diadopsi oleh Gereja menjadi salah satu hari raya Kristen. Sejarah yang terjadi memang benar demikian. Paus Gelasius I merupakan orang yang bertangungjawab atas di adopsinya hari raya pagan ini menjadi hari raya Kristen. Dan Gelasius agaknya memiliki alasannya sendiri.
Agama Kristen masuk ke Roma dibawa oleh Saint Peter dan Saint Paul, setelah Yesus dikabarkan meninggal pada tahun 33 Masehi. Para penginjil dari Timur Tengah secara aktif menyebarkan agama tersebut ke seluruh negeri di mana mereka bisa jangkau.
Penyebaran Kekristenan di Roma, juga di daerah lainnya, tidak berjalan semulus seperti yang direncanakan. Ada penentangan di sana-sini. Dengan penuh ketabahan, kecerdikan, dan juga keuletan, para penginjil membentuk komunitas-komunitas Kristen di sejumlah tempat. Awalnya tentu bersifat tertutup. Agar kekristenan bisa diterima oleh masyarakat Roma yang menganut paganisme dan meyakini bahwa Tuhan yang berkuasa di dalam kehidupan ini berbentuk Dewa-Dewi yang menjelma sebagai manusia sempurna—apakah itu perempuan atau lelaki—maka mau tidak mau kekristenan harus beradaptasi dengan kepercayaan pagan Roma kuno ini. Maka diadopsilah banyak sekali kepercayaan-kepercayaan, tahayul-tahayul, mitos-mitos, dan aneka ritual maupun simbol paganisme.
Hal ini seperti ketika agama Islam dibawa masuk oleh Walisanga di Tanah Jawa, di mana para wali tersebut konon berupaya memadukan unsur-unsur Hindu dengan nilai-nilai keislaman. Sebab itulah, wajah Islam di Jawa dipenuhi dengan unsur mistik dan bahkan terkesan musyrik, yang sesungguhnya sama sekali dilarang dalam agama Allah SWT ini.
Di Roma, bertahun-tahun pengadopsian tradisi dan kepercayaan Paganisme dilakukan oleh para penginjil agar masyarakat kota tersebut mau menerima kekristenan. Perjuangan para penginjil ini tidak sia-sia. Warga Roma akhirnya bisa menerima mereka karena warga Roma menganggap kekristenan yang ada tidak berbeda dengan agama pagan yang sudah dianut mereka secara turun-temurun. Dalam masa kekuasaan Kaisar Konstantine, Kristen dijadikan agama resmi Kekaisaran Romawi dengan di sana-sini dipenuhi unsur dan simbol Paganisme. Hal ini sampai sekarang tetap dipertahankan dalam tradisi Gereja di mana Tahta Suci Vatikan sendiri dipenuhi oleh banyak sekali simbol dan warisan tradisi paganisme.
Simbol Pagan Yang Diadopsi
Perayaan Valentine merupakan salah satu hasil kompromi antara tradisi Pagan Romawi dengan nilai-nilai kekristenan. Paus Gelasius melihat bahwa setiap awal hingga pertengahan Februari, orang-orang di Roma secara bersemangat merayakan Festival Lupercalia, yang dianggap memiliki daya magis dalam hal kesuburan, kesuburan lahan pertanian maupun kesuburan biologis manusia. Kepercayaan orang-orang Roma dalam perayaan Lupercalis ini sangat kental sehingga Gelasius menganggap mustahil jika perayaan tersebut dihapus begitu saja.
Agar orang-orang Romawi bisa menerima kekristenan, maka Lupercalia Festival ini diberi bungkus baru dengan nama Hari Valentine. Apalagi ‘perayaan baru’ ini dilengkapi dengan mitos tokoh Santo Valentinus yang dikatakan hidup di masa Kaisar Claudius. Kisah tentang Santo Valentinus dibuat sedemikian rupa sehingga banyak mendapat simpati dari para pemuda dan pemudi Roma yang memang secara tradisi memiliki hasrat kuat di dalam bidang ‘percintaan’.
Ensiklopedia Katolik sendiri tidak bisa memastikan siapa sesungguhnya sosok yang dikenal dunia selama berabad-abad sebagai Santo Valentinus. Berabad-abad kemudian, perayaan Valentine yang dibuat oleh Paus Gelasius, pada tahun 1960-an dihapus dari kalender tahunan Gereja dengan alasan bahwa perayaan tersebut sesungguhnya tidak memiliki dasar sejarah yang kuat dan sekadar berasal dari mitos. Namun oleh para pebisnis, momentum ini terus dihidup-hidupkan dengan berbagai cara dan hasilnya seperti yang ada sekarang ini: Hari Valentine tetap diyakini sebagai bagian dari tradisi Gerejawi, padahal anggapan ini tidak benar adanya.(Selengkapnya Baca: Eramuslim Digest Edisi 5: The Dark Valentines, Ritual Setan yang Sekarang Dipuja)