"Saya senang ayah saya pulang," kata Alyssa Evershed, enam tahun.
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 tengah malam, dan ayah Alyssa tengah berada dalam perjalanan pulang dari Irak bersama dengan sekitar 300 anggota dari Brigade Stryker 4; pasukan tempur AS terakhir yang meninggalkan Irak.
Ratusan anggota keluarga berkumpul di ruang gimnasium di Joint Base Lewis-McChord, dan beberapa ibu yang menggednong anak-anak tersenyum, cemas menyambut seseorang yang sangat mereka kasihi.
Ruangan segera dipenuhi dengan pelukan dan air mata, dan dalam beberapa detik, beberapa orang ayah melihat anak-anak mereka berjalan untuk pertama kalinya.
Saat ia memeluk istri dan dua anaknya, Sersan Jason Evershed hanya merasakan kesenangan yang luar biasa karena ia bisa pulang. "Ini merupakan tahun yang panjang. Ini merupakan tahun yang sangat panjang," katanya terbata-bata, tanpa hendak menunjukkan kekerasannya sebagai seorang tentara.
Istrinya, Courtney, tidak bisa pula menahan air matanya. "Saya lega; saya tidak perlu lagi khawatir tentang dia, dan dia berada di rumah setiap malamnya sekarang," katanya.
Brigade Evershed adalah bagian dari gelombang pasukan di tahun 2007, tetapi dalam kepulangannya sekarang, mereka sama sekali tidak berbicara tentang perang di Irak atau sesuatu apapun yang menyatakan tentang kemenangan AS di Irak.
Mereka berbicara tentang pelesir ke Disneyland, memasak barbecue dan mencari apartemen baru.
Alyssa, gadis kecil itu, pada ulang tahunnya, mendambakan ayahnya pulang, atau dibolehkan memelihara seekor anak anjing.
"Kini dia mendapatkan salah satu dari dua keinginannya itu," gurau ibunya.
Masa Bulan Madu
Seiring kepulangan pasukan tentara itu dari tugas 12 bulan di medan perang, para ahli memperingatkan bahwa para tentara AS membawa "luka-luka yang tak terlihat."
Depresi, isolasi, stres, kemarahan, perceraian dan bunuh diri hanya bagian dari tantangan emosional yang sekarang akan dihadapi oleh tentara-tentara itu.
Scott Swaim, seorang veteran Perang Teluk dan terapis di Spring Valleys di Washington DC, mengatakan, ketika tentara pertama kalinya pulang, mereka akan menemui "periode bulan madu" mereka terlebih dahulu.
Tapi semua gambar horor yang pernah mereka lihat di medan perang tidak akan mudah hilang dari ingatan mereka.
"Depresi sangat besar dan grafik bunuh diri naik," kata Mr Swaim. "Karena ada banyak stigma dengan penyakit mental. Banyak orang tidak memahaminya dan dalam militer ada stigma ganda – kami adalah tentara—bukan korban."
Sekadar gambaran kasar, Departemen Pertahanan AS melaporkan bahwa antara tahun 2005 dan 2009, lebih dari 1.100 tentara telah bunuh diri.
Swaim mengatakan bahwa setiap tentara yang baru pulang dari medan perang akan merasa sangat sulit untuk berbicara tentang pengalaman mereka. "Bagaimana Anda menggambarkan akibat ledakan bom?"
"Saya biasa tidur di sebelah generator selama perang, jadi ketika saya kembali ke rumah, saya harus tidur di dekat kipas angin karena saya sudah terbiasa dengan kebisingan—itu membuat istri saya menjadi stress!" katanya.
Meskipun Swaim mengatakan banyak tentara yang menunjukkan perubahan perilaku yang jelas seperti kemarahan dan iritasi, dia mengakui bahwa "bunuh diri menjadi sesuatu yang tak pernah Anda selalu ketahui."
"Sulit untuk mengenali tanda-tanda bunuh diri itu. Tapi itu ada. Berapa banyak? Anda tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikiran mereka dan itu hal yang menakutkan," kata Mr Swaim.
Tragedi Yang Tak Diharapkan
Hanya beberapa mil jauhnya dari reuni emosional keluarga militer di Fort Lewis, Washington, veteran Joseph Ramsey berharap ia berada di sana untuk memeluk anaknya sendiri, David Ramsey.
Sebaliknya, Ramsey ingat hari itu, tanggal 7 September 2006, saat sekarang menantunya meneleponnya di tempat kerja untuk memberitahu, "David menembak dirinya sendiri."
David Ramsey adalah seorang Tentara Spesialis. Ia bertugas di Fort Lewis dua minggu sebelumnya setelah menjabat sebagai perawat di rumah sakit Mosul, Irak selama sepuluh bulan.
Sementara di Irak, catatan medis melaporkan bahwa David pernah terlihat mengokang senapannya ke dadanya sendiri. Dia kemudian membatalkan usaha bunuh dirinya, meminta bantuan dan dirawat di rumah sakit untuk konseling.
Akibatnya, kunjungan kerjanya berakhir beberapa minggu lebih awal dari jadwal seharusnya. Ayahnya tidak pernah mendapatkan laporan percobaan bunuh diri itu.
Ramsey mengatakan bahwa tidak ada satupun dari militer yang memeriksa anaknya sekembalinya dari medan perang.
"Awalnya, saya tidak percaya," katanya dengan suara tercekik karena emosi.
"Saya pulang kerja. Kemudian saya melihat mobilnya di jalan, saya memanggil dia, tak ada jawaban. Saya lari ke atas, dan dia terbaring di tempat tidur. Dia sudah menembak dirinya sendiri," katanya.
"Dia masih hidup ketika saya menemukannya. Satu-satunya yang bisa ia katakan adalah ‘Maaf, Ayah. Saya tak bermaksud melukai siapa-siapa.’ Saya mencoba untuk mendapatkan bantuan, dan saya tidak mendapatkannya. Dalam beberapa menit, dia meninggal dunia. "
Pihak militer telah memberikan Ramsey obat untuk mengatasi masalah tidurnya dan tidak pernah memberitahu keluarganya tentang percobaan bunuh dirinya, kata ayahnya.
Sementara di Irak, Ramsey mengatakan kepada ayahnya tentang kepeduliannya karena melihat anak-anak Irak yang terluka. Dia berbicara tentang tubuh tanpa kepala dan anggota badan yang hilang.
Ramsey Senor berpikir perang Irak adalah sia-sia dan bahwa anaknya secara sukarela membantu orang melalui keterampilan medisnya.
Tapi ia menambahkan, "Saya tidak berpikir ia akan menerima bantuan dari tentara."
"Saya harap negara kita melakukan pekerjaan yang lebih baik kepada pasukan tentara. Mereka pantas untuk dilayani seperti jenderal.. Mereka membutuhkan perawatan medis yang baik dan pengobatan yang baik," kata Ramsey pilu. (sa/bbc)