Dalam suratnya Kartini kecewa dengan kondisi pendidikan wanita Jawa yang berada pada status sosial yang rendah. Beberapa saat kemudian Kartini menikah dengan Bupati Rembang dan resmi menjadi istri ke-4 sang bupati.
Usia kartini terbilang muda ketika Tuhan memanggilnya, di usia 25 tahun Kartini tutup usia. Sampai akhir hayatnya mimpi Kartini mendirikan satu sekolah khusus wanita tidak pernah terwujud.
Baru setelah 6 tahun meninggalnya Kartini, Mr. JH. Abendanon mengumpulkan dan membuat buku tentang surat-surat Kartini yang pernah di tulisnya. Mr. JH. Abendanon dialah yang menulis buku berjudul Door Duisternis tot Licht yang diterjemahkan oleh Armyn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku Door Duisternis tot Licht di terbitkan tahun 1911 oleh pemerintah Belanda. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan anehnya pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Terbitnya surat Kartini menarik minat dan perhatian masyarakat Belanda, melalui aksi sumbangan terkumpulah dana untuk mendirikan sekolah wanita seperti mimpi Kartini dulu.
Kontroversi Kartini Ada beberapa pihak yang meragukan isi surat RA. Kartini, disamping itu Belanda sengaja memilih tokoh Kartini sebagai politik etis (balas budi) penjajah terhadap Indonesia, politik etis merupakan salah satu cara Belanda mengambil simpati rakyat Indonesia.
Yang perlu di ingat wilayah perjuangan Kartini hanya lingkup Jepara dan Rembang yang teramat kecil bila diukur luas Indonesia. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap perjuangan Kartini, saya berkeyakinan bahwa Kartini juga dekat dengan penjajah karena tidak satupun suratnya yang memandang Belanda adalah musuh, hal berbeda dengan Malahayati, Cut Nyak Dhien, Opu Daeng Risadju dll.
Salah satu orang yang menantang pengkultusan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita adalah Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar. Harsja W. Bachtiar menulis sebuah artikel berjudul: Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita.
Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Tokoh pejuang wanita dunia Rakyat Prancis bangga dengan pejuang wanitanya bernama Joan of Arc, dia pahlawan Prancis yang berani melawan Inggris dia memimpin pertempuran hingga tertangkap dan dihukum mati. Sampai-sampai banyak penulis dan komponis, termasuk Shakespeare, Voltaire, Schiller, Verdi, dan Twain, telah menciptakan berbagai karya mengenai dirinya.
Kemudian di Spanyol terdapat tokoh wanita yang mempersatukan Spanyol dan membiayai proyek penaklukan negeri jauh, dia adalah Ratu Isabella.