Sebab Freire dalam tesis bukunya, mengajukan cara pandang baru dalam memahami sejarah. Freire menentang dua mahzab yang dianut oleh dua kelompok ideologi yang sesungguhnya justru bermusuhan di medan politik.
Kaum kanan memandang sejarah itu statis, bahwa masa kini yang terhubung dengan masa lalu, pada hakekatnya masa lalu dan masa kini itu sesuatu yang berkelanjutan. Jadi ngapain juga ngomongin atau bahas masa depan. Begitu kira-kira jalan berpkir kaum kanan.
Sebaliknya kaum kiri ortodoks beranggapan bahwa masa depan itu sudah ditentukan sebelumnya, jadi tunggu saja sampai situasi itu muncul dengan sendirinya. Nggak usah repot-repot mikiran masa kini apalagi masa depan. Karena tahapan feodalisme, borjuasi kapitalis hingga masyarakat tanpa kelas, akan tiba dengan sendirinya.
Freire melihat cara pandang kaum kanan maupun kiri ortodoks ini sama sama nggak beresnya. Karena membuat orang jadi fatalis dan masa bodoh. Kalau kaum kanan memandang masa kini adalah kelanjutan masa lalu dan nggak ada perubahan, lalu kaum kiri ortodoks memandang sejarah itu gerak garis lurus yang nggak bisa dikutak-katik antara masa lalu, masa kini dan masa depan, betapa tidak menariknya dunia ini, pikir Freire.
Makanya kemudian Freire tergerak menawakan tesis baru dalam memandang sejarah. Sejarah itu merupakann upaya manusia untuk menciptakan berbagai kemungkinan baru. Manusia itu fitrahnya adalah mengubah dunia, bukan menonton atau sekadar memahami dunia. Dan masa depan itu masih goib. Jadi penuh dengan segala macam peluang dan kesempatan. Maka motonya yang terkenal adalah: Reading the Word, Reading the World.[GRI]
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)