Bukan itu saja. Bahkan Raffles sejak kepulangannya kembali ke London pada oktober 1816, justru berhasil memasuki lingkaran elit kerajaan Inggris. Misalnya melalui momentum pertemuan yang tak terduga ketika Pangeran Regent mengundangnya pada Januari 1817. Adapun Pangeran Regent merupakan putra dari Raja George III.
Meski dikenal rada urakan dan pemabuk, namun Pangeran Regent dikenal punya keahliannya dalam bidang bahasa dan seni, serta pengagum novel-novel karya Jane Austen. sehingga masuk dalam jajaran kaum cendekiawan yang dihormati pada era Raja George III. Karena itu tak heran jika Pangeran Regent sangat menaruh apresiasi pada pada yang dikerjakan Raffles di negara-negara jajahan Inggris di Timur Jauh seperti di Jawa dan India.
Sisi menarik dari kisah persahabatan Raffles dengan Pangeran Regent, adalah kedekatan Raffles dengan Putri Charlote, putri dari Pangeran Regent. Konon, berkat desakan Putri Charlote kepada ayahnya, agar Raffles mendapat perhatian khusus atas bakat-bakat dan minatnya yang besar dalam bidang sejarah timur dan kebudayaan. Sebuah gejala yang langka di kalangan lingkaran birokrasi.
Maka, melalui lingkaran elit Pangeran Regent inilah, Raffles dipertemukan dengan George Canning, yang kelak jadi Perdana Menteri Inggris. Berkat permintaan Canning inilah, Raffles kemudian menyusun sebuah tulisan panjang berupa memorandum ihwal kebijakan Inggris di Timur Jauh, sekaligus mengantisipasi persaingan terselubungnya dengan Belanda di kawasan Asia Tenggara. Melalui sebuah policy paper bertajuk Our Interest in the Eastern Archipelago.
Sejak itu, jalan takdir Raffles sebagai orientalis Inggris nampaknya terbentang sudah. 20 Maret 1817, Raffles diangkat sebagai anggota Royal Society. Di lembaga inilah, Raffles bertemu pertama kali dengan Duke Sommerset.