Eramuslim.com – Kota Bitung adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara. Kota ini memiliki perkembangan yang cepat karena terdapat pelabuhan laut yang mendorong percepatan pembangunan. Kota Bitung terletak di timur laut Tanah Minahasa. Wilayah Kota Bitung terdiri dari wilayah daratan yang berada di kaki gunung Duasudara dan sebuah pulau yang bernama Lembeh. Banyak penduduk Kota Bitung yang berasal dari suku Sangir, sehingga kebudayaan yang ada di Bitung tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di wilayah Nusa Utara tersebut. Kota Bitung merupakan kota industri, khususnya industri perikanan. Itulah sebabnya kota ini disebut dengan Kota Cakalang.
Dalam catatan sejarah, disebutkan pada tahun 1940-an para pengusaha perikanan di laut Sulawesi tertarik dengan keberadaan Bitung dibandingkan pelabuhan Kema yang ada di wilayah Kabupaten Minahasa. Padahal, Pelabuhan Kema dulunya merupakan pelabuhan perdagangan. Menurut pandangan mereka, Bitunglah yang lebih strategis.
Di samping itu, kota ini juga memiliki Pulau Lembeh, salah satu pulau terbesar di Sulawesi Utara. Pulau ini berfungsi sebagai penahan ombak alamiah yang dapat melindungi pelabuhan Bitung sepanjang tahun dari terpaan angin dan gelombang besar.
Konon, Amerika tertarik menjadikan pulau yang terletak 1 mil dari pelabuhan Bitung ini sebagai pelabuhan kapal perangnya. Amerika mengutus Vincent A Lacelly, seorang konsultan di bidang kelautan, membuat kesepakatan dengan mantan Walikota Bitung, Milton Kansil untuk membangun pelabuhan bagi kapal-kapal perang Amerika.
Secara geografis, wilayah ini sangat cocok untuk berlabuh kapal-kapal perang Amerika yang mondar-mandir dari Lautan Pasifik menuju Kawasan Teluk. Tetapi permintaan Amerika itu ditolak.
Saat memasuki Bitung, kita akan disambut oleh Gunung Dua Saudara yang terletak di pinggiran dalam Kota Bitung. Gunung dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut yang berdempetan itu bagai kaki-kaki kokoh yang siap “melindungi” kota.
Pusat Prostitusi di Sulawesi Utara
Bitung merupakan salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang memiliki potensi eco-tourism yang khas, dan sangat potensial bagi pengembangan sektor pariwisata seperti cagar alam dan wisata pantai. Oleh karena itu jangan heran jika jumlah PSK (Pekerja Seks Komersial) di kota ini setiap tahun meningkat
Yayasan Harapan Sentosa Bitung (YHS) membeberkan bahwa Khusus kota Bitung terdapat tiga lokasi bursa Seks terbuka dengan jumlah PSK (Pekerja Seks Komersial.) sebanyak 1200 PSK (Harian Komentar 28 Februari 2004).
Dinas Sosial kota Bitung melaporkan bahwa terdapat kurang lebih 1500 orang pelacur pada tahun 2010 dan 70 % di antaranya adalah berumur 16 -23 tahun dan dari 70 % itu 45 % di antaranya adalah berlokasi di kecamatan Bitung timur. Ini adalah jumlah PSK yang terdata, sementara yang belum terdata masih sangat banyak dan selalu bertambah. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah dengan semakin banyaknya jumlah PSK di kota Bitung, maka penyebaran HIV pun semakin pesat.
Himpunan Masyarakat Peduli AIDS (HUMPAD) yang bekerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), membeberkan jumlah penderita ODHA tahun 2010 di Kota Bitung tercatat 165 orang, “Sementara bulan November 2011 bertambah menjadi 218,” kata Ketua HUMPAD, Jody Mamangkey, Jumat 18 November 2011 baru-baru ini.
Penduduk Bitung terdiri dari hampir semua suku besar di Indonesia. Demikian pula lima agama resmi negeri ini eksis dan berkembang di kota ini. Oleh karena itu bisa disebut Bitung adalah Nusantara kecil
Namun, karena kota ini hampir semua sektor dikuasai oleh Umat Kristen, sehingga perkembangan Islam ditempat ini sangat menyedihkan. Padahal komposisi pemeluk agama Islam dan penganut agama lainnya di wilayah ini sekitar 40% berbanding 60%. Komposisi semacam ini sempat menimbulkan kecemasan di kalangan kaum Kristen. Maklum, selama ini mereka sudah mengklaim kota Bitung sebagai salah satu kota Kristen. Karena klaim itulah kemudian mereka berusaha mempertahankan kota ini agar tidak berubah. Oleh karena itu pembangunan sasjid di kota ini selalu mendapatkan tantangan yang luar biasa dari pihak Kristen. Mulai dari pembangunan Masjid Ribathul Qulub, Kompleks Pelabuhan Bitung, sampai Masjid Babul Jannah di kelurahan Sagerat selalu dipersulit, bahkan berupaya untuk dibongkar.
Untung saja di kota ini, masyarakat muslim masih memiliki seorang tokoh yang cukup disegani oleh mereka, yakni H. Sjamsudin Sururama, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bitung yang selalu terdepan untuk mempertahankan pembangunan masjid di kota Bitung. Sekalipun di usianya yang sudah cukup renta, pak Haji panggilan akrabnya, tidak pernah gentar dengan segala ancaman yang dikeluarkan oleh pihak Kristen, melalui laskar-laskar mereka, seperti Brigade Manguni dll. Itulah sebabnya sebagian besar orang menyebut kota ini sebagai Kota 1001 Gereja dan Pusat kristenisasi se-Asia Tenggara.
ulukan itu sebenarnya tidak berlebihan, karena kenyataannya simbol-simbol Kristen di kota ini begitu mencolok. Gereja berdiri di mana-mana. Hampir setiap seratus meter berdiri gereja. Yang paling mencolok ketika Dzulfikar Ahmad Tawala, (Sekjen PP. IPM), mengadakan konsolidasi pada bulan Ramadhan beberapa tahun yang lalu ke Manado yang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Kota Bitung, Bang Fikar (panggilan akrabnya), sempat merasa kebingungan untuk mencari masjid hendak melaksanakan shalat Magrib dan berbuka Puasa. Karena selain jarang menemukan Masjid, kebetulan pada waktu itu juga bertepatan dengan perayaan Paskah, sehingga sepanjang jalan dipenuhi dengan lampion Salib.
Selain itu, kehidupan masyarakat Bitung pun menunjukkan pola hidup yang mirip dengan masyarakat Kristen di Barat. Dari cara berpakaian sampai pola pergaulan. ”Pakaian yang laris di sini modenya tergantung di negara Barat,” kata Mardianto, mantan kepala bagian salah satu perusahaan konveksi di Manado. Ia mencontohkan mode yang saat ini sedang digandrungi masyarakat Bitung, terutama kaum muda adalah celana model sapi, yaitu celana yang ketat dan pendek.
Selain Westernisasi budaya, tantangan terberat yang dihadapi kaum muslim di kota ini, adalah Kristenisasi. Kasus-kasus Kristenisasi yang paling gencar di sana menurut Ustadz Rio Efendi Turipno, Da’i Majelis Tabligh PP. Muhammadiyah adalah dengan modus Pacaran (hamilisasi) dan bantuan sosial, hal ini dikarenakan masyarakat muslim di kota tersebut yang berjumlah 47.871 jiwa, hampir 80% tergolong pra sejahtera. Sehingga sangat memudahkan bagi para missionaris melancarkan misinya yang berkedok bantuan.
Sebagai contoh ada beberapa keluarga yang pernah menjadi korban Kristenisasi yang pernah tangani oleh Ustadz Rio, rata-rata mengaku bahwa awal para missionaris ini masuk ke keluarga tersebut dengan pendekatan bantuan sosial, yang kemudian lambat laun menarik keluarga tersebut untuk masuk ke dalam agama mereka dengan iming-iming agar bisa hidup lebih baik dari sebelumnya. Begitu juga dengan remaja banyak yang menjadi korban akhirnya murtad, setelah melalui proses pacaran dan dihamili oleh pemuda-pemuda Kristen.
Dengan kondisi seperti ini, dibutuhkan para dai ataupun pihak-pihak yang bersedia berjuang dengan harta dan jiwanya dalam membangun masyarakat Islam di Kota 1001 Gereja ini, di mana sebagian besar belum mendapat perhatian secara khusus dari ormas-ormas Islam maupun pemerintah setempat.(ts/voaislam.com)