Sementara isteri lain bercerita sambil menangis jika disuruh berhenti ngaji di tempat kami karena ada “omongan” bahwa kami muhammadiyah, bahkan diancam dicerai jika tetap “ngaji”. Akhirnya berhenti, namun justru anaknya datang sendiri belajar di tempat kami dan mulai menyadarkan bapaknya. Suatu ketika keluarga tersebut, terlilit hutang… sang isteri yang pernah “ngaji” datang menceritakan dan menyatakan maksudnya. Kami beri pinjaman untuk melunasi hutangnya yang jatuh tempo dan diceritakan pada suaminya bahwa yang menghutangi tetangga muhammadiyah nya tempat ia “ngaji”. Ia terdiam dan tertegun.
Kisah ke-3, Prof. Dr. Thobroni bercerita saat workshop dosen AIK di kantor PDM Jember… “di suatu tempat ada makam yg terkenal dengan ki ageng gribik (asalnya bernama syeh akbar al-maghribi), namun masyarakat menyebut dan mengenalnya dengan ki ageng gribik. Banyak orang yang menziarahi makamnya. Saat berkesempatan memberi materi di daerah tersebut, saya mengunjungi makam tersebut dan melihat-lihat dan berdialog dg juru kuncinya. Juru kunci bercerita “sebenarnya ada makam yang tidak kalah keramat dan hebatnya, karena saya tahu persis kebaikan-kebaikan penghuni makam tersebut selama hidupnya”. Saya penasaran ” yang mana?” Ia menunjukkan makam sebelah ki ageng gribik yang sepi, tidak ada yang menziarahi. Saya heran dan bertanya “kok tidak ada yang berziarah ke makam itu ?” Juru kunci menjawab “karena dulunya orang itu muhammadiyah”
Apa orang Muhammdiyah itu demikian buruk sehingga dianggap aneh kalau berbuat baik?
Ibu Aisyiah itu memang sering menolong penjual nasi goreng itu, meminjami uang (tanpa bunga), memberi nasehat, mencari solusi masalah keluarga, menjadi tempat curhat dan konsultasi gratis. Aneh, Bu Haji ternyata orang Muhammadiyah.
Muhammadiyah memang sudah berusia satu abad. Tetapi ternyata masih banyak masyarakat mengenal Muhammadiyah baru sebatas kulitnya. Belum dalamnya. Pengurus yayasan yang bertanya berapa gaji pimpinan Muhammadiyah, dia belum kenal Muhammadiyah dengan baik. Juga dosen perguruan swasta itu. Apalagi penjual nasi goreng itu.
Sudah banyak yang kita lakukan, tetapi ternyata lebih banyak lagi yang belum sempat kita kerjakan. Memasuki usia abad ke dua, kita harus membuktikan bahwa Muhammadiyah kebalikan dari sangkaan penjual nasi goreng itu. Jika orang mengatakan ”dia orang Muhammadiyah”, maka dalam kata itu harus terkandung jaminan sebagai orang baik, amanah, jujur, menepati janji, keja keras, pecinta damai, tidak mbulet dan tidak aji mumpung.
Ternyata banyak orang yang belum kenal betul pada Muhamamdiyah.
(Sumber Anonim Viral di WAG)
Dikutip dari tulisan Pak Nurcholis Huda (Waket PWM Jatim), ada di buku Anekdot Tokoh-tokoh Muhammadiyah, terbitan Hikmah Press
Lalu dicopy dan dilakukan penambahan kisah dan literasi oleh Idris Mahmudi, Amd.Kep; M.Pd.I. (dosen dan Sekretaris LP-AIK UM Jember).
Sumber: WA Group