Kekuatan berikutnya, orang Muhammadiyah itu relatif terdidik dan rasional. Jadi mudah faham dengan aturan.
”Orang rasional yang irrasional”, katanya sambil tertawa, karena bersusah payah membuat sekolah dan rumah sakit, lalu diberikan sukarela ke pusat tanpa kompensasi.
Seorang walikota yang bukan orang Muhammadiyah tertarik dengan istilah ”amal usaha” yang digunakan dalam lembaga Muhammadiyah. ”Ini mengandung makna yang mulia” katanya. Menurut walikota, orang bekerja di rumah sakit, sekolah dan di semua amal usaha Muhammadiyah harus dimulai dengan nawaitu amal, baru usaha atau nawaitu cari nafkah. Jangan dibalik, yang menonjol cari nafkahnya atau usaha, nanti bisa lupa amalnya. Karena itu dinamakan amal usaha. Artinya, niat beramal di depan, baru usaha cari nafkah”, katanya.
Kita tidak tahu apakah para karyawan di amal usaha Muhammadiyah sudah menghayati dengan baik makna amal usaha seperti yang diuraikan walikota itu. Atau bersemangat sebaliknya. Bekerja murni mencari nafkah tanpa ada semangat mengabdi.
Setelah Muhammadiyah berkembang besar, setelah jumlah amal usaha terus bertambah, boleh jadi nawaitu orang masuk Muhammadiyah bermacam-macam. Ada yang ingin mengabdi untuk agama tetapi ada pula untuk kepentingan lain. Selama pimpinan persyarikatan dan pimpinan amal usaha tetap istiqamah pada tujuan memberi sesuatu, bukan meminta sesuatu kepada Muhammadiyah, kita percaya daya saring pada orang-orang yang masuk Muhammadiyah tetap akan berjalan baik.
Namun berikut ini mungkin kejadian kecil yang penting untuk direnungkan.
Seorang pengurus Aisyiyah bercerita, suatu hari ibu penjual nasi goreng dekat sebuah pasar tradisional agak tergopoh-gopoh mendatanginya. ”Apakah betul Bu Haji orang Muhammadiyah?” tanya penjual nasi goreng itu.
”Betul! kenapa?”
”Tidak ada apa-apa, Ooh, ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik, ya”, kata penjual itu dengan suara rendah seperti kepada dirinya sendiri.
Ibu Aisyiyah tertegun dan merasa nelongso mendengar ucapan kawannya itu. Kalimat ”ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik” terngiang terus.
Kasus kedua dialami oleh kami sendiri (penyadur dan penulis ulang tulisan ini ) : setiap sedekah maupun zakat kami kita alokasikan ke tetangga sekitar dalam bentuk sembako maupun uang secara rutin. Ada tetangga yang bercerita “sebelumnya tidak ada yang menebar pemberian, baru kali ini ada bagi-bagi dari orang muhammadiyah”. Sementara tetangga satunya isterinya bercerita ke isteri penulis ” suami saya bilang, semua tetangga kita tidak pernah peduli dg kita, bahkan seringkali kita tidak masak juga tidak ada yang tahu. Saat ada orang muhammadiyah yg pindah dan bertetangga dengan kita, kita jadi sering dibantu dan diberi. Ternyata orang muhammadiyah itu lebih baik ya bu. Sang istri yang sudah rutin “ngaji” di tempat kami menjawab “kok baru sadar panjenengan mas”.