Saya katakan bahwa Muhammadiyah itu organisasi kerja, bukan organisasi papan nama. Sebuah ranting berdiri bukan karena banyaknya orang tetapi karena ada kegiatan. Syarat berdirinya sebuah ranting harus punya amal usaha misalnya punya sekolah, atau mesjid atau punya aktivitas seperti pengajian.
Berikutnya, Orang Muhammadiyah itu melakukan kegiatan karena dorongan iman, dorongan keyakinan, bukan karena mencari untung. Karena itu sering dalam kegiatan mereka bukan saja tidak dapat honor, malah sering mengeluarkan uang dari kantongnya. Lain dengan kepanitiaan di instansi. Asal namanya tercantum berhak dapat honor walaupun tidak bekerja. Karena itu sering rebutan agar namanya bisa dicantumkan dalam panitia kegiatan.
Muhammadiyah tidak demikian. Mereka bekerja karena didorong iman bukan keuntungan, itulah juga kekuatan dalam Muhammadiyah.
Bahkan tidak sedikit guru yang mengajar di sekolah-sekolah muhammadiyah gajinya tidak diambil, namun diserahkan kembali pada muhammadiyah untuk kepentingan gerak dakwah muhammadiyah. Ada juga sekolah-sekolah muhammadiyah yg mungkin belum maju, belum mentereng… guru yg jiwanya tercelup sibghoh muhammadiyah sering tidak menerima gaji, atau mendapat gaji rapelan (3 atau 5 bulan sekali meskipun nominalnya tidak banyak). Jika saat menerima wajah mereka amat ceria meski sedikit. Jika pas tidak ada mereka tidak gajian wajahnya tetap ceria dan semangat kerjanya konstan. Mengapa ? Mereka tersenyum dan menjawab “alhamdulilah waktunya puasa” hal yang sangat lumrah dan biasa.
Dr. Sa’ad Ibrahim, M.A. (ketua umum PWM JATIM) pernah meneteskan air mata saat menceritakan salah satu kepala sekolah muhammadiyah yang digaji Rp. 300 ribu / bulan dan selalu datang paling awal dan pulang paling akhir, di hadapan peserta RAKERPIM muhammadiyah se-JATIM yang ditempatkan di gedung Ahmad Zainuri UM Jember.
Pertanyaannya… hari ini masih adakah guru atau dosen yang bekerja di amal usaha muhammadiyah yang seperti itu ?
Lantas bagaimana kehidupan mereka ? Cukupkah untuk nafkah dan kebutuhan sehari-hari ? Dari muhammadiyah boleh jadi ia hanya mendapat nominal sedikit, tapi dari usaha lain atau pekerjaan lain yg mereka tekuni justru rizkinya tak terhitung banyaknya. Mungkin itulah berkah yang melimpah dari mengurusi muhammadiyah. “Siapa yg menolong agama Allah, maka Allah yang menolong dan mencukupkan semua mereka”. Bahkan Prof. Dr. Thobroni menyatakan “orang-orang yang istiqomah mengurusi muhammadiyah secara materi kehidupannya lebih berkelimpahan dari pada yg hanya sekedar mengejar duniawi. Mereka rata-rata di masyarakat secara ekonomi masuk kategori kelas menengah ke atas”.