Karena begitu banyaknya amal usaha yang dimiliki muhammadiyah, membuat banyak peneliti luar berfokus dan menulis tentang muhammadiyah, Salah satunya kita kenal dengan Prof. Dr. Mitsuo Nakamura dan James L. Peacock. Mitsuo nakamura peneliti jepang yang selalu hadir tiap muktamar muhammadiyah itu suatu ketika penasaran dan berkunjung ke kantor pimpinan pusat muhammadiyah jakarta tutur Prof. Dr. Munir Mulkhan, S.U. Ditemui Prof. Syafi’i Ma’arif, Ph.D. ia terheran-heran karena muhammadiyah yang ia tahu besar dan kaya, kok kantor presidennya kecil dan sederhana. Lalu ia bertanya “berapa gaji ketua / presiden muhammadiyah ? Syafi’i Ma’arif tersenyum dan menjawab “saya tidak digaji”. Nakamura sontak berkata “gila….”.
Pengurus tidak digaji, itulah kekuatan Muhammadiyah, bukan kelemahan.
Seorang dosen perguruan swasta bukan orang Muhammadiyah bertanya ”Apakah benar semua amal usaha menjadi milik pimpinan pusat?” ”Benar!” jawab saya.
”Berapa bantuan dari pusat sampai bisa menguasai semua aset itu?”
”Sama sekali tidak membantu. Hanya meresmikan, itupun kalau ada waktu. Pimpinan Pusat tidak menguasai, walaupun secara hukum semua atas nama pusat”.
”Tidak menguasai tapi memiliki, itu sama saja. Kalau tidak dibantu, lalu dari mana sumber dana membangun amal usaha yang demikian banyak?”
”Dari anggota dan simpatisan. Anggota ranting di desa misalnya, mereka urunan membangun madrasah, SD, mesjid dan sebagainya. Demikian juga aset lain seperti rumah sakit sampai universitas. Mereka paham kalau diberi nama Muhammadiyah itu artinya diberikan kepada Muhammadiyah”.
”Rela ya, apa kuncinya kerelaan memberi itu?”