Turki pada masa pemerintahan para sultan dan kekhalifahan Usmaniyah terakhir bukanlah negara atau pemerintahan Islam, sebab para pemimpinnya menindas dan membiarkan rakyatnya bodoh dengan memakai Islam dan segala bentuk ibadah-ibadahnya sebagai tameng belaka.
Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana gambaran yang diduga Soekarno maupun Kemal.
Sikap mendukung pemahaman yang salah tentang negara Islam, yang kemudian melahirkan gagasan pemisahan agama dari negara, jelas tidak tepat.
“Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 440).
Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam. Negara hanyalah sebuah alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Al Quran dan sunah. Semua tuntunan dalam Islam tidak ada artinya jika tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat.” (Muhammad Natsir, Capita Selecta, hlm. 442).