Tidak kecil keikhlasan rakyat dan kaum ibu di Sumatera Barat (mayoritas warga muhammadiyah) yang menyumbangkan uang, perhiasan bahkan cincin kawin mereka untuk modal pemerintah dan membeli pesawat jenis Avro Anson. Pesawat ini sangat penting untuk misi-misi khusus dan membuka blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.
Tidak mudah bagi raja-raja di wilayah timur untuk menyatakan bergabung dengan Indonesia. Bahkan, Sukarno dan Mohammad Hatta harus bolak-balik dari tahun 1945 hingga 1955 untuk merayu dan meyakinkan Raja Don Alfonso Nisnoni dari Kerajaan Timor beserta raja-raja lain.
Sukarno menjanjikan pemerintahan yang berdiri di atas UUD 1945 yang di dalamnya mencakup Pasal 33 soal keadilan, pemerataan ekonomi dan pengelolaan kekayaan negara. Pidato Sukarno disambut teriakan rakyat, “Haket Mese, Haket Mese”. Artinya, berdiri di atas kaki sendiri.
Para raja dan sultan itu akhirnya dengan rela melepaskan “keagungan” dan “kemuliaan” mereka demi Indonesia.
Kejadian serupa juga terjadi di beberapa daerah dan kerajaan lain di Nusantara.
Hasil riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2012, ada 186 kerajaan yang masih eksis secara fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI.
Pernahkah generasi sekarang membayangkan betapa sulitnya Sukarno mengajak para raja dan sultan yang jumlahnya ratusan untuk menyatu mendirikan negara?