Eramuslim – Ada keterkaitan kuat antara dispilin ilmu hadist dan budaya penelitian. Budaya meneliti boleh dikatakan lahir dari era pengumpulan hadis dan pengklasifikasiannya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, dalam beberapa kesempatan pernah menyampaikan bahwa ilmu hadits adalah budaya penelitian yang dilakukan secara masif pertama kali di dunia.
Bayangkan, di masa sepeninggal Nabi apabila tak ada suatu sistem yang memfilter perkataan sesesorang yang dinisbatkan pada Nabi, maka akan terjadi kekacauan di berbagai aspek. Namun melalui musthalahul-hadis, jika ada seseorang yang mengklaim hadis, akan sangat mudah ditelusuri keabsahannya.
Salah satu ahli hadits yang paling banyak mentakhrij hadis, Imam Bukhari, telah belajar kepada lebih dari 3.000 ahli hadis di berbagai negara Muslim. Sosok yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Bukhari ini dikenal memiliki metode yang sangat selektif dan ketat dalam menilai otensitas suatu hadits.
Di era digital seperti sekarang ini, informasi memang terbuka luas. Akses informasi bisa digunakan untuk kebaikan namun ada juga segelintir orang yang menyelewengkannya. Sebagai contoh, hadis di masa kini kerap disalahgunakan oleh kaum ekstremis yang memelintir hadist untuk kepentingan radikal.
Hadis-hadis seperti keutamaan pemimpin dari kalangan Quraisy, keutamaan jihad, hingga hadist 72 bidadari hingga hari ini dijadikan propaganda kaum ekstermis ISIS. Namun setelah sejumlah pakar hadis menelusuri keabsahan hadis yang digunakan kalangan ekstremis, hadis-hadis tersebut rancu dan dicurigai palsu.