Ketika MU datang, akomodasi pertama terbuat dari karang dan batu kapur. Apa pun yang tidak tumbuh secara lokal harus dibawa dengan kapal dan bisa memakan waktu hingga tiga bulan untuk tiba.
Surat kabar datang terlambat berbulan-bulan dan layanan telepon tidak konsisten. Lupa mengemas pasta gigi berarti Anda tidak bisa gosok gigi, karena tidak ada toko di pulau itu.
Sebelum gerbang pariwisata dilintasi turis mancanegara, hanya ada sekitar dua penduduk di pulau tempat Kurumba dibangun. Belum ada layanan spa, yoga, snorkeling, atau restoran bawah laut di sana.
Tidak banyak yang bisa dilakukan wisatawan selain memancing dan berjemur.
“Meski demikian mereka sangat senang,” kenang MU kepada CNN Travel.
“Beberapa dari mereka, Anda tahu, berjemur terlalu lama hingga seperti lobster.”
Maladewa hari ini
Meskipun Kurumba hari ini menjadi vila kelas atas dan restoran mewah, deskripsi MU tentang hari-hari awal Maladewa membuat pulau ini lebih seperti pulau hippie.
“Dulu kami mengadakan barbekyu di tempat terbuka ini. Dan selalu ada seseorang yang bertugas memainkan gitar.”
Di kamar tamu, keran mengalirkan air payau. Toilet saat itu mungkin digambarkan “aneh.”
Tak ada yang menyangka sebelumnya kalau pulau terpencil di tengah Samudera Hindia ini akhirnya menjadi destinasi wisata “kaum sultan”.
“Sejak awal saya tidak pernah meragukannya,” katanya.
Untungnya, beberapa hal tidak berubah. Mereka masih memanen kelapa dengan cara kuno: memanjat pohon.
“Jika saya tidak bisa datang ke sini (setiap) hari dan kemudian berjalan-jalan di sini… rasanya ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya,” katanya.
MU bukanlah satu-satunya orang yang begitu terpikat oleh keindahan pulau-pulau Maladewa sehingga mereka tidak ingin tinggal di tempat lain.
Denise Schmidt awalnya datang dari negara asalnya, Jerman, ke Maladewa untuk bekerja sebagai pekerja magang di sebuah hotel. Sekarang, dia tinggal di sana penuh waktu bersama suaminya, Ali Amir.
Mereka bekerja sebagai manajer Reethi Beach Resort di Baa Atoll yang damai dan memiliki seorang putri kecil yang amat beruntung bisa tumbuh besar di kepulauan surgawi ini.
Tugas enam bulan yang awalnya dijalani Schmidt kini telah berubah menjadi bertahun-tahun, dan tidak sulit untuk memahami bagaimana seseorang dapat terpesona oleh pemandangan di sini dan ingin tinggal selamanya.
“Tentu saja ada pulau yang disukai dan tidak disukai orang,” kata Schmidt diplomatis — meskipun sulit membayangkan ada sebuah pulau di Maladewa yang tidak disukai seseorang.
Isolasi bisa menjadi salah satu “kesialan” saat tinggal di pulau terpencil, tetapi di era pandemi, itulah yang dimanfaatkan Maladewa.
Negara ini sebagian besar dapat tetap buka sementara tujuan lain telah ditutup – meskipun lonjakan kasus baru-baru ini telah mendorongnya untuk memperketat pembatasan.[sumber: digtara]