Inti permohonan para rasul yang meminta kepada Alllah SWTagar dipisahkan dari kaumnya, seperti juga dalam kasus Musa AS, adalah lantaran tugas risalah yang diemban sudah hampir mencapai batas akhir kesabaran mereka. Ketika hasil positif yang diharapkan dari sebuah misi dakwah kerasulan menemui jalan buntu, maka para rasul kemudian menyerahkan urusan yang masih mentok ini kepada Allah SWT sebagai Pemberi perintah. Di sini, batas akhir kesabaran untuk menanti hasil terlampaui, sehingga mereka meminta kepada Allah agar diri mereka dan orang-orang yang beriman dipisahkan dari kelompok yang membangkang.
Dengan begitu, jikapun kelompok yang membangkang ini ditimpakan adzab akibat kesalahan yang mereka perbuat, maka rasul dan pengikutnya yang beriman akan dapat terhindar dari adzab tersebut.Hal ini terbukti seperti dalam kasus Syu’aib dan Ṣāliḥ ketika keduanya menginginkan agar Allah menurunkan adzab sebagai balasan ketidak-taatan pengikut-pengikut mereka terhadap perintah Allah, perangai buruk, serta dosa-dosa mereka yang enggan beriman.
Seperti permintaan Musa AS, Allah pun kemudian menurunkan hukuman sebagai akibat keengganan Bani Israil berperang merebut tanah suci yang diperuntukkan bagi mereka. Allah melarang mereka memasuki tanah suci yang dijanjikan selama kurun waktu empat puluh tahun lamanya, sebagaimana difirmankan di akhir kisah ini, “Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (Padang Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasiq itu.” (QS al-Mā’idah/5:26)
Ṭabarī menjelaskan bahwa dengan larangan itu Bani Israil diharamkan memasuki tanah suci mereka selama 40 tahun lamanya. Melanjutkan tafsiran ayat ini, Ṭabari juga menjelaskan bahwa baru setelah berlalunya masa penangguhan selama 40 tahun ituAllah kemudian memenangkan wilayah tanah suci itu bagi Bani Israil, sehingga kemudian mereka dapat mendiaminya.
Selama masa menunggu itulah Bani Israil yang berjumlah sekitar 600.000 tentara itu dihukum dengan berkelana mengembara di padang Tīh, tanpa bisa memasuki kota suci. Sebagian dari mereka menemui ajal setelah dua puluh tahun masa penagguhan,dan hanya anak-anak mereka yang lahir kemudian saja diperbolehkan memasuki kota. Ṭabarī mencatat bahwa kemenangan Bani Israil didapatkan setelah sebagian dari mereka, seperti Yūsha‘ dan Kālib, serta anak-anak Israil yang terlahir di masa penangguhan; berhasil memerangi penguasa jahat dan merebut kekuasaan atas wilayah yang ditetapkan menjadi tanah suci mereka itu.[14]
Khāzin memiliki penjelasan sendiri mengenai hukuman bagi Bani Israil ini. Baginya, larangan memasuki wilayah tanah suci bermakna perintah bagi Bani Israil yang mengabaikan larangan Allah untuk bermukim secara berkelana selama 40 tahun menghadapi segala macam kesulitan dan kesukaran hidup sebagai hukuman dan cobaan (miḥnah). Hukuman ini berlaku bagi 600.000 tentara Israil yang tidak mau berperang tersebut selain Musa, Harun, Yūsha’, dan Kālib lantaran, menurut Khāzin, Allah memberikan kemudahan bagi mereka sebagaimana Allah memberikan kemudahan kepada Ibrahim ketika dibakar dengan menjadikan api itu dingin sehingga Ibrahim pun selamat. Hukuman bagi Bani Israil ini merupakan balasan setimpal bagi perilaku buruk mereka yang menentang perintah Allah SWT.[15]
Signifikansi: Memilih jalan berpisah
Hikmah dari doa Musa AS yang meminta dipisahkan dari kaumnya yang berbuat dosa adalah bahwa seorang rasul tidak bisa memprediksi kesuksesan bagi dakwah yang dilaksanakannya terhadap kaumnya sendiri. Kegagalan dakwah akibat tidak diterimanya ajakan dan seruan yang didengungkan oleh para rasul sepenuhnya dikembalikan kepada Allah SWT.