24. Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”
Penjelasan dalam rangkaian ayat-ayat di atas menegaskan penolakan keras kaum Musa untuk memasuki tanah suci yang dijanjikan, lantaran mereka benar-benar enggan berjuang untuk merebutnya. Mereka begitu takut terhadap kaum yang gagah perkasa yang menguasai kota itu, sehingga hampir seluruh kaumnya menolak berjuang merebut wilayah yang dijanjikan tersebut. Khāzin menafsirkan bahwa kaum jabbārīn yang menguasai kota itu adalah pennguasa yang bengis dan kejam, bertubuh besar dan kuat.
Mereka adalah suku Amaliqa, dari sisa-sisa kaum ‘Ad.[6] Bahkan nasehat dari dua orang di antara mereka, yang ditafsirkan sebagai dua orang pengikut Musa yang bernama Yūsha‘ bin Nūn dan Kālib bin Yāfinā[7] –yang menyarankan strategi menyerang secara bersama-sama melalui gerbang kota utama dan berbekal pertolongan Allah serta sikap tawakkal kepada-Nya— pun kemudian ditolak mentah-mentah oleh hampir seluruh pengikut Musa kala itu.Khāzin menjelaskan bahwa kedua orang wakil utusan Musa ini mengingatkan akan janji datangnya pertolongan Allah SWT, dan bahwa Allah tidak akan melupakan janjinya.[8] Tetapi, mereka tidak mau beranjak untuk berperang dan memasuki kota selamanya. Mereka lebih suka memilih duduk menunggu sementara mempersilahkan Musa maju berperang berdua bersama Tuhannya.
Di tengah keputus-asaan Musa membujuk Bani Israil agar berjuang untuk memasuki wilayah tanah suci yang dijanjikan inilah doa Musa dipanjatkan kepada Allah sebagai ungkapan kemarahan Musa terhadap keengganan kaumnya untuk menaati perintah Allah.[9]Doa ini sekaligus menjadi refleksi sikap tawakkal Musa dengan menyerahkan kekecewaan dirinya terhadap sikap kaumnya kepada keputusan Allah yang memberikan perintah. Ketika kaumnya enggan menjalankan perintah itu, maka Musa mengembalikan masalahnya kepada Allah tentang sanksi dan hukuman apa yang akan diturunkan terkait dengan sikap kaumnya tersebut.
Musa menganggap bahwa penolakan yang dilakukan kaumnya adalah tindakan dan sikap fasiq, yang didefinisikan Khāzin sebagai tindakan yang keluar dari ketaatan terhadap perintah Tuhan.[10] Musa menegaskan bahwa ia kini hanya memiliki dirinya sendiri dan saudaranya saja, lantaran ia sudah berlepas diri dari kaumnya, ketika ia meminta dipisahkan dari pengikut yang tidak taat kepada perintah Allah SWT.
Di sinilah, tugas seorang Rasul selesai ketika ia rampung menyampaikan risalah.Mengenai hasil dan kelanjutan nasib bagi kaum yang tidak mau menerima seruan itu sepenuhnya dikembalikan kepada Allah juga.
Doa yang dipanjatkan oleh Musa ini menjadi ungkapan ketidakmampuan Musa dalam menentukan hasil dari sebuah seruan dakwah. Ṭabarī menjelaskan bahwa ungkapan Musa yang menyebut dirinya tak lagi memiliki apapun selain dirinya dan saudaranya dapat berarti “Saya tidak mampu lagi selain [apa yang telah diupayakan].”[11] Sementara itu, Musa menyerahkan urusannya kepada Allah sepenuhnya.
Menurut Ṭabarī, ungkapan Musa bermakna, “pisahkanlah kami dan mereka dengan [menyerahkan sepenuhnya kepada] keputusan Engkau, yang akan Engkau berikan kepada kami dan kepada mereka, maka jauhkanlah mereka dari kami.”[12]Berbeda dengan Ṭabarī, Khāzin lebih memilih makna firāq yang diminta Musa dari kaumnya dengan kalimat “ahkum” yang berarti “turunnya hukuman” atau “hukumlah” dan “putuskanlah” antara kami dan mereka.[13] Makna ini menegaskan bahwa Musa menyerahkan ending dari sebuah seruan risalah dengan menyerahkan keputusan terhadap penerimaan atau penolakan itu kepada Tuhan, sebagai pihak yang memberikan perintah.
Hukuman dan Kemarahan Tuhan
Doa tersebut menjadi puncak kemarahan Musa terhadap para pengikutnya, ketika Bani Israil telah dianggap melawan kehendak Tuhan. Mereka juga telah menyangsikan keterangan Yusha‘ dan Kālib sehingga Musa pantas marah kepada kaumnya sendiri dan meminta Allah untuk menghukum mereka akibat kefasikan yang mereka lakukan. Ungkapan doa Musa yang meminta dipisahkan dari kaum yang membangkang terhadap perintah Tuhan dan Rasul-Nya sering dikemukakan oleh para Rasul, seperti yang dilakukan Syu’aib (QS al-A‘rāf/7:89), Sāliḥ (QS al-Mu’minūn 23/29) atau Nabi Muhammad SAW(QS al-Anbiyā’/21:112) ketika kaumnya sendiri tidak mau mengikuti seruan tauhid yang disampaikan kepada mereka.