Sekali lagi yang perlu dicermati, awal persebaran virus corona ini sudah menimbulkan pro dan kontra dari sejumlah negara, terutama dua negara adidaya AS dan China yang sama-sama menuding telah menciptakan virus tersebut. Namun, senjata ampuh untuk memutus rantai persebaran Covid-19 yang dipakai oleh ‘bandar’ penjual ketakutan adalah istilah social distancing (jarak sosial), yang sejatinya berimplikasi praktis pada pelemahan sebuah negara. Dan ini, diakui atau tidak, sudah kita rasakan.
Indonesia dan banyak negara lain, dalam sejarah, tidak pernah mengambil kebijakan lockdown (kuncian) di masa lalu untuk memerangi virus, meskipun tingkat kematiannya jauh lebih tinggi daripada yang diakibatkan oleh Covid-19 seperti sekarang ini. Secara langsung atau tidak langsung, persebaran Covid-19 telah memberikan teror psikologis yang begitu medalam kepada semua warga bangsa di dunia.
Ada negara-negara lain yang tidak mematikan ekonomi mereka sebagai cara untuk melawan Covid-19, misalnya Swedia. Negara ini belum menutup ekonomi mereka dan bahkan lebih baik daripada negara-negara lain di Eropa yang telah menempatkan pembatasan ketat pada warga mereka, yang secara langsung juga berimplikasi pada pelumpuhan ekonomi mereka.
Andaikan kita memberlakukan social distancing setiap kali virus muncul di masa lalu, negara kita Indonesia, mungkin tidak akan sampai pada tahap negara berkembang seperti saat ini. Justru masalahnya sekarang adalah, kebijakan pemerintah–yang paling mutakhir terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)–telah mendapatkan tanggapan yang beragam bahkan bertolak belakang antara satu dengan yang lain. Ambiguitas kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 ini sangat menyulitkan dalam hal kontrol atau pengawasan, juga penegakan aturan di lapangan. Apalagi di beberapa kementerian terdapat ada banyak pengecualian pembatasan.
Ya, penjual ketakutan sudah mengatakan bahwa virus corona akan kembali musim dingin ini. Jika ya, apakah kita akan merespons dengan cara yang sama, – “berlindung di tempat”, yang dalam istilah kita, stay at home, work from home, dan memberlakukan (quasi) lockdown? Jika kita terus melakukan ini, negara kita bukan malah semakin berkembang, apalagi maju. Semoga pemerintahan bisa mempertimbangkan strategi dan kebijakan yang diambil oleh sebagian negara yang tidak begitu larut dalam “operasi” Covid-19, yang dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute
Sumber; Globalreview