Eramuslim.com – NAHDHATUL ULAMA dalam Muktamarnya ke-11, di Banjarmasin, 19 Rabi’ulawwal 1355 H (9 Juni 1936 M), membahas satu masalah bertajuk: “Apakah Negara Kita Indonesia Negara Islam?”
Ditanyakan, “Apakah nama negara kita menurut Syara’ agama Islam?”
Jawabnya: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama Negara Islam tetap selamanya.” Muktamar juga memutuskan, bahwa wilayah Betawi (Jakarta) adalah “dar-al-Islam”, begitu juga sebagian besar wilayah Jawa.
Mengutip Kitab Bughyatul Mustarsyidin bab “Hudnah wal-Imamah” dijelaskan:
“Kullu mahalli qadara muslimun saakinun bihi… fii zamanin minal azmaani yashiiru daara Islaamin tajrii ‘alaihi ahkaamuhu fii dzaalika-az-zamaani wa-maa ba’dahu wa-in-qatha’a imtinaa’ul-musliiina bil-istilaa’il-kuffaari ‘alaihim wa-man’ihim fii-dukhuulihi wa-ikhraajihim minhu wa-hiina’idzin fa-tastamiituhu daara harbin shuuratan laa-hukman, fa-‘ulima anna ardha Bataawiy (Jakarta) bal wa-ghaalibu ardhi Jaawaa daara Islamin li-istilaa’il-muslimiina ‘alaihaa qablal-kuffaari.
”(“Semua tempat dimana Muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi daerah Islam (Dar-al-Islam.pen.) yang ditandai berlakunya syariat Islam pada masa itu. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan “daerah perang” (dar-al-harb.pen.) hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa Tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah “Daerah Islam” karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan oleh orang-orang kafir.”)
(Lihat buku “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbitan LTN-NU Jawa Timur, cetakan ketiga, 2007, hlm.176-177).
PEMIMPIN NON MUSLIM
Dalam Muktamarnya ke-30 di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, NU membahas permasalahan: “Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam?”
Jawabnya: “Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Islam, kecuali dalam keadaan darurat, yaitu:
(a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena factor kemampuan,
(b) Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat,
(c) Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Islam itu nyata membawa manfaat.
Catatan: Orang non-Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.
Dasar pengambilan (hukum tersebut):
al-Quranul Karim,
At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy juz IX, hlm 72,
al-Syarwani ‘alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73,
al-Mahalli ‘alal-Minhaj juz IV, hlm.172,
al-Ahkam as-Sulthaniyah li-Abil Hasan al-Mawardiy.
Secara lebih terperinci, berikut ini hujjah-hujjah yang mendasari para muktamirin mengambil keputusan tersebut (teks asli dalam bahasa Arab-nya tidak dikutip dalam tulisan ini):
(1) “Dan Allah SWT sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS an-Nisa’:141).
(2) Dalam Kitab At-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitsamiy juz IX, hlm 72, disebutkan:
“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika sudah sangat terpaksa. Menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan orang kafir tersebut tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam titimmah disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan tersebut jika memang darurat.”
(3) al-Syarwani ‘alat-Tuhfah juz IX, hlm. 72-73:
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya karena dharurat. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam.”
(4) al-Mahalli ‘alal-Minhaj juz IV, hlm.172:
“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram menguasakan orang kafir terhadap umat Islam kecuali karena dharurat.” (Lihat, Ibid, hlm. 551-552).
Referensi lain :
1. Al-Quran Al-Karim
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisaa Ayat: 141)
2. Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 72
ولا يستعان عليهم بكافر ) ذمي أو غيره إلا إن اضطررنا لذلك
قول المتن: ولا يستعان إلخ) أي يحرم ذلك اه. سم, عبارة المغني والنهاية: (تنبيه) ظاهر كلامهم أن ذلك لا يجوز ولو دعت الضرورة إليه لكنه في التتمة صرح بجواز الاستعانة به أي الكافر عند الضرورة
3. awasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 73
نعم ان قتضت المصلحة توليته في شىء لا يقوم به غيره من المسلمين او ظهر من المسلمين خيانة و امنت في ذمي فلا يبعد جواز توليته لضرورة القيام بمصلحة ما ولى فيه، و مع ذلك يجب على من ينصبه مراقبته و منعه من التعرض لاحد من المسلمين
4. Kanz al-Raghibin dan Hasyiyah al-Qulyubi, Jilid IV, h. 156
ولا يستعان عليهم بكافر) لأنه يحرم تسليطه على المسلمين
قوله: ولا يستعان) فيحرم إلا لضرورة
5. Al-Ahkam al-Sulthaniyah, hal. 22
والوزارة على ضربين وزارة تـفويض ووزارة تـنـفيذ. اما وزارةالتـفويض فهى ان يستوزر الإسلام من يفوض اليه تدبـير الأمور برأيه وإمـضاء ها على اجتـهاده
6. Al-Ahkam al-Sulthaniyah, hal. 23
واما وزارة التـنـفيـذ فحكمها اضعـف وشروطها اقل لأن النـظر فيها مقـصور على رأي الإمام وتـدبـيره
(gh/forsansalaf.com)