Saat ini langkah untuk segera menaikkan harga BBM seakan menjadi sebuah langkah kebijakan paling rasional, paling tepat dilakukan untuk menyelesaikan persoalan APBN. Opini tersebut terbentuk akibat gencarnya kampanye bahwa penyelamatan APBN akibat tingginya harga minyak dunia hanya dapat diselesaikan dengan menaikkan harga BBM.
Masih segar dalam ingatan kita berbagai upaya penciptaan opini untuk mendukung kenaikan harga BBM sebesar 126% pada bulan Oktober 2005. Saat terjadi kenaikan harga minyak dunia, pemerintah SBY dan berbagai lembaga pendukung sibuk memberikan argumentasi bahwa dampat buruk yang terjadi hanya bisa diatasi dengan kenaikan harga BBM. Berbagai proposalpun diajukan untuk memuluskan dan mempercepatan kenaikan harga BBM. Mulai dari alasan untuk menyelamatkan ekonomi, menjawab ketidakpastian pasar hingga keyakinan bahwa kenaikan harga BBM justru akan menjadi obat untuk mengurangi kemiskinan, dll.
Segala argumentasi untuk mendukung kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 akhirnya terbukti ngawur. Angka kemiskinan justru meningkat dari 31, 1 juta jiwa (2005) menjadi 39, 3 juta jiwa (2006). Demikian pula inflasi mengalami kenaikan tajam sebesar 17, 75% (2006). Di sisi industri, kenaikan harga BBM untuk kedua kalinya tahun 2005 tersebut telah mendorong percepatan deindustrialisasi, Bila pada tahun 2004 sektor manufaktur masih tumbuh 7, 2% maka pada tahun 2007 hanya tumbuh sebesar 5, 1%. Ini terjadi karena industri ditekan dari dua sisi yakni peningkatan biaya produksi dan merosotnya demand akibat menurunnya daya beli masyarakat. Penambahan jumlah penganggur dari 9, 9% (2004) menjadi 10, 3% (2005) dan 10, 4% (2006) pun akhirnya tidak terelakkan.
Dampak kenaikan harga BBM juga sangat panjang. Perhitungan dampak kenaikan harga BBM yang ngawur telah mengakibatkan pemerintah SBY lalai untuk membuat kebijakan antisipasinya. Akhirnya, beban rakyat terus meningkat akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Jumlah rakyat miskin terus bertambah dan bahkan di sejumlah daerah, rakyat menderita kekurangan gizi atau busung lapar hingga banyaknya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat kelompok bawah akibat himpitan ekonomi.
Saat ini desakan untuk segera menaikkan harga BBM kembali terjadi. Sebagaimana tahun 2005, kenaikan harga minyak mentah dunia tidak segera direspon dengan berbagai kebijakan penyelamatan ekonomi tetapi pemerintah SBY justru gencar menciptakan opini pembenaran kenaikan harga BBM. Awalnya pemerintah SBY sibuk menjelaskan bahwa dampak buruk kenaikan harga minyak dunia tidak hanya dirasakan oleh Indonesia tetapi juga negara-negara lain. Kemudian disusul dengan pidato presiden SBY yang meminta rakyat memahami bila pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM.
Sebagaimana tahun 2005, sebagian anggota Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, terutama yang selama ini dikenal pro-kreditor dan lembaga internasional, bahkan juga mengusulkan untuk kembali meningkatkan utang. Alternatif ini menunjukkan tidak adanya kreatifitas dan tidak adanya upaya pemerintahan SBY untuk menghilangkan ketergantungan Indonesia kepada lembaga keuangan internasional. Padahal dalam APBN tahun 2008 telah direncanakan utang baru sebesar Rp 48 triliun dan penerbitan SUN, obligasi, dll sebesar Rp 117 triliun.
Tim Indonesia Bangkit menilai rencana kenaikan harga BBM sebagai sebuah kebijakan panik (panic policy) dan sangat tidak adil. Beberapa argumentasi kami adalah:
1. Rendahnya Kredibilitas Prediksi Tim Ekonomi Pemerintah SBY-JK. Tingginya harga minyak mentah dunia yang mengakibatkan kepanikan Pemerintah SBY-JK, terjadi akibat lemahnya kredibilitas prediksi Tim ekonomi atas asumsi-asumsi APBN 2008, termasuk prediksi harga minyak, sehingga pada akhirnya harus dibayar dengan mahal.
Di tengah tren harga minyak dunia yang terus meningkat pada tahun 2007, dalam asumsi dasar APBN 2008 pemerintah SBY yang sangat optimistis malah memprediksi harga minyak hanya sebesar US$60 per barel. Prediksi produksi minyak sebesar 1, 03 juta barel/hari juga diragukan karena realisasi tahun 2007 hanya sekitar 910 ribu barel per hari. Sementara dalam Nota Keuangan 2008 tidak dijelaskan kebijakan terobosan yang akan dilakukan untuk mendorong tingkat produksi. Hal ini mengakibatkan keraguan para pelaku pasar terhadap kredibilitas anggaran pemerintah.
Menyadari kelemahan prediksi ini, hanya satu bulan setelah APBN 2008 mulai berjalan, pemerintah SBY-JK meminta percepatan pembahasan RAPBN P 2008 kepada DPR dari jadwal rutin bulan Juli menjadi bulan Februari. Namun, dalam APBNP tidak tercantum berbagai langkah seperti yang diusulkan oleh Tim Indonesia Bangkit seperti mengurangi alokasi anggaran pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri, bunga rekap, pemangkasan biaya pengadaan BBM, dll.
Harga minyak pun direvisi menjadi US$95 per barel, dengan jumlah produksi sebesar 927 barel per hari tanpa alternatif kenaikan harga BBM. Sebelum sempat APBNP 2008 dijalankan, Menteri Keuangan kembali revisi harga minyak sebesar US$110 per barel, percepatan kenaikan harga BBM dan bersamaan dengan revisi asumsi-asumsi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi menjadi hanya 6%, inflasi menjadi 8, 5-9, 5%, dll.
Kredibilitas prediksi pemerintah yang sangat lemah inilah yang telah mengakibatkan ketidakpercayaan pasar. Tetapi oleh Tim Ekonomi pemerintah, ketidakpercayaan pasar dibelokkan sebagai akibat penundaan kenaikan harga BBM.
2. Kenaikan Harga BBM Sebagai Pilihan Pertama Pemerintah SBY-JK, tetapi Telah Diklaim Sebagai Pilihan Terakhir. Tidak ada kemauan politik (political will) dan keberanian dari Pemerintah SBY-JK untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan ekonomi akibat tingginya harga minyak, yang mengedepankan prinsip pembagian beban (burden sharing) yang adil. Hal ini mengakibatkan seolah-olah klaim Presiden SBY bahwa kenaikan harga BBM yang akan dilakukan sebagai pilihan terakhir adalah sebuah kebohongan publik. Karena faktanya masih banyak langkah-langkah kebijakan penyelamatan ekonomi lain yang belum dilakukan sebelum menaikan harga BBM.
Beban APBN karena turunnya tingkat produksi akan lebih besar dibanding karena tingginya harga minyak dunia. Bila tingkat produksi minyak dapat dipertahankan di atas 1 juta barel per hari, maka dampaknya terhadap APBN akan relatif lebih kecil. APBN justru akan diuntungkan dengan tingginya harga minyak. Namun, langkah ini tidak pernah dilakukan karena memang akan memaksa Menteri ESDM untuk merevisi UU Migas yang berarti harus pula merevisi kebijakan liberalisasi sektor energi yang telah dilakukan secara ugal-ugalan.
Dalam paper yang direlease pada tanggal 25 Juli 2005, ”Kenaikan Harga BBM: Pilihan Akhir yang Harus Didahului Reformasi Tata Niaga Minyak Bumi dan Gas, Program Anti Kemiskinan yang Efektif, Renegosiasi”, TIB telah memberikan masukan langkah-langkah kebijakan yang harus dilakukan sebelum memilih kenaikan harga BBM. Langkah tersebut antara lain:
Reformasi Tata Niaga Minyak Bumi dan Gas: Hapus Brokers Pemburu Rente.
Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan dan distribusi BBM oleh Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.
Revisi Formula Perhitungan Alokasi Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas
Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam merubah perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yaitu pertama, alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas diperhitungkan berdasarkan dana penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi dan gas setelah dikurangi subsidi BBM. Dengan kebijakan ini, perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas masih tetap memperhitungkan fluktuasi harga minyak dunia, akan tetapi dana yang dibagikan adalah dana penerimaan pemerintah setelah dikurangi pengeluaran subsidi. Alternatif kedua adalah dengan mematok (freeze) besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Langkah kebijakan ini dilakukan dengan mengubah cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yang semula mengikuti perubahan harga minyak dunia diganti dengan cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas secara tetap (tidak didasarkan pada harga minyak dunia), berapa pun realisasi harga minyak mentah dunia.
Meningkatkan Mobilisasi Dana Alternatif
Beban berat APBN dapat diselesaikan dengan melakukan berbagai langkah kebijakan untuk melakukan burden sharing kepada semua stakeholders baik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, kreditor kalangan bisnis maupun masyarakat luas. Langkah terobosan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah APBN adalah dengan memobilisasi dana alternatif. Terdapat beberapa sumber dana yang dapat dioptimalkan, antara lain:
– Optimalisasi Penggunaan Dana-dana Pemerintah
– Optimalisasi penerimaan Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas
– Memperbaiki manajemen utang dan restrukturisasi utang dalam negeri
– Dll.
Melaksanakan Program Anti Kemiskinan yang Efektif
Menyusun strategi diversifikasi energi
Meskipun langkah-langkah tersebut dapat menjadi solusi jangka pendek maupun jangka panjang, akan tetapi pada tahun 2005 pemerinth SBY-JK langsung menyatakan tidak layak dan tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Tahun 2008, pemerintah SBY-JK dan para pendukung kebijakan kenaikan harga BBM kembali lagi memberikan alasan yang sama untuk tidak melaksanakan langkah-langkah yang lebih adil tersebut. Bila alasannya sama, lalu apa yang dilakukan oleh pemerintah SBY-JK selama 2-3 tahun ini? Tidak ada alasan lain kecuali pemerintah SBY-JK dengan kebijakan Washington Konsensus memang akan menghapuskan berbagai subsidi termasuk subsidi BBM bagi masyarakat, meskipun masih sangat dibutuhkan.
3. Kenaikan Harga BBM Tanpa Persiapan Matang dan Kebijakan Dukungan Sangat Merugikan Kinerja Ekonomi Nasional. Pengelolaan kebijakan fiskal yang lemah serta rencana kenaikan harga BBM yang diwacanakan akan segera dilakukan meski tidak didukung oleh persiapan yang matang akan berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat terutama menengah bawah serta daya saing dan ketahanan sektor industri terutama menengah dan kecil. Di samping kerugian ekonomi juga ada potensi timbulnya dampak sosial yang buruk.
Salah satu program yang akan dilakukan oleh pemerintah SBY-JK, sebagaimana tahun 2005, adalah memberikan kompensasi bagi masyarakat miskin. Tahun 2005 pemerintah SBY memberikan BLT sebesar Rp 100.000 per bulan per keluarga bagi keluarga miskin selama satu tahun. Banyak kelemahan dari program kompensasi ini antara lain besaran BLT tidak dapat mengkonversi tambahan beban orang miskin karena jumlah tersebut adalah hasil perhitungan bila harga BBM naik 30-40%, sementara faktanya BBM naik 126%. Selain juga masalah salah sasaran. Meskipun telah dilakukan pendataan oleh BPS, diprediksi ada sekitar 15-20% keluarga miskin yang tidak terjaring karena berbagai alasan.
Tahun 2008, pemerintah SBY-JK tanpa persiapan matang akan mengulang program tersebut. Padahal koreksi terhadap program dan mekanisme belum dilakukan. Demikian juga data yang akan dijadikan data based juga data yang telah out of date karena akan menggunakan data penerima BLT tahun 2005. Dengan gambaran ini dapat dipastikan tingkat efektifitas dari program BLT akan sangat rendah. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2006 muncul keluarga miskin baru yang belum terdata akibat berbagai kebijakan ekonomi pemerintah SBY-JK yang tidak berpihak kepada kelompok masyarakat bawah.
Dari berbagai argumen di atas, Tim Indonesia Bangkit meminta pemerintah SBY-JK segera melakukan langkah-langkah kebijakan yang adil, di mana ada burden sharing dalam menghadapi beban APBN akibat tingginya harga minyak dunia. Menaikan harga BBM adalah cara gampangan yang membebankan dampak persoalan kepada masyarakat. Padahal cukup banyak dana APBN yang digunakan untuk membiayai birokrasi yang tidak efisien bahkan sangat tidak adil seperti telah dilakukan Menteri Keuangan dengan menaikan biaya renumerasi Departemen Keuangan sebesar Rp 5 Triliun lebih pertahun. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, dampak kerugian sosial ekonomis yang ditimbulkan jauh lebih besar dan tidak sebanding dengan penghematan finansial yang diperolah dalam APBN.
Jakarta, 7 Mei 2008
Tim Indonesia Bangkit