Minggu 5 Oktober 1997, Harian Media Indonesia, menurunkan sebuah berita mengenai kehidupan mahasiswa di Yogyakarta yang menjalani nikah mut’ah sebagai sebuah doktrin dalam Syiah.
Kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, tentang kesesatan ajaran Syiah yang tidak hanya cacat secara akidah, namun juga dipenuhi kejangggalan dalam perkara syahwat biologis.
Anehnya, sekalipun perkawinan berlangsung dalam jangka waktu tertentu saja, serta dapat dilakukan tanpa ada saksi dan wali ini banyak ditentang kalangan agamawan, namun masih tetap banyak pasangan yang melakukannya. Bahkan, saat itu kawin kontrak telah pula merambah kehidupan kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi.
Meskipun, bila diamati, tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan mahasiswa yang melakukan kawin kontrak adalah para penganut aliran Syiah. Harian Media Indonesia pun kemudian mencoba mengurai pelaku nikah mut’ah yang tidak lain sepasang mahasiswa Yogja.
Tengok saja pengakuan Ani –bukan nama sebenarnya- mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta yang telah dua kali menjalani kawin kontrak. Menurut wanita yang saat itu berusia 24 tahun, menyatakan bahwa bujukan dari pasangannyalah yang telah mampu meluluhkan hatinya untuk melakukan kawin kontrak.
Ceritanya begini. Sekitar tahun 1992 saat baru memasuki jenjang kuliah, ia jatuh cinta pada kakak kelasnya, sebut saja Adi. Penampilannya yang sopan serta ketekunan ibadah lelaki pujaannya itu, semakin mempertebal rasa cinta wanita ini. Ibarat gayung bersambut, ternyata sang kekasih memiliki perasaan yang sama. Maka ketika Adi menyatakan cintanya, kesempatan itu tentu saja tak disia-siakan begitu saja, ia pun langsung menerimanya dengan sepenuh hati.
Rasa cinta mereka pun semakin hari semakin tumbuh subur. Tak ayal setiap ajakan dan permintaan pacarnya selalu dituruti. Bukan apa-apa, sebab ia sudah menganggap pacarnya itu bukan orang lain lagi. Waktu pun terus berlalu. Sekitar enam bulan sejak mereka pacaran. Ani diajak pacarnya untuk masuk ke dalam sebuah kelompok pengajian Syiah. Kala itu ia tidak menolaknya sedikitpun. Apalagi Ani, anak kedua dari dua bersaudara ini masih merasakan kurang dalam ilmu agama.
Awalnya, ketika baru beberapa kali mengikuti pengajian ini. Ia merasakan ada perbedaan ajaran Syiah dengan apa yang pernah didapatnya di bangku sekolah dulu. Tapi, segala prasangka buruk segera ditepisnya, karena ia tetap berpegang pada keyakinan bahwa Adi, pacarnya itu tak akan menjerumuskan dirinya dalam kesesatan.
“Saya sempet bertanya kepada Adi, tapi ia menyuruh saya agar pasrah dan ikhlas”. Kenang Ani.
Tak lama berselang, kurang lebih satu tahun sejak mereka bergabung dalam kelompok ini, tanpa diduga Adi mengutarakan isi hatinya untuk melakukan kawin kontrak dengannya. Pasalnya, sesuai dengan apa yang diajarkan Imam pada aliran Syiah ini, perkawinan dapat dilakukan dengan cara kawin kontrak. Dalam keyakinan Syiah, langkah ini ditujukan untuk menghindari diri dari godaan nafsu biologis serta perbuatan zina.
Yakin akan pengajaran itu, Ani pun menerima ajakan pacarnya itu. Acara Ijab kabul segera dilaksanakan. Mereka berdua sepakat untuk menjalani kawin kontrak untuk jangka waktu satu tahun.
“Saat itu tak ada lagi keraguan. Saya malah senang karena kebutuhan kami, baik lahir dan batin dapat terpenuhi tanpa melanggar larangan agama”. Ujar mahasiswi yang kini sedang menjalani ujian skripsi ini.
Padahal, menurutnya kalau dibayangkan saat itu, entah bagaimana sikap orang tuanya seandainya mereka tahu langkah yang telah dijalaninya. Bagaimana tidak, kawin kontrak itu dilakukan tanpa persetujuan serta saksi orang tuanya. Sebab, menurut kelompok ini saksi dapat diwakili oleh ketua kelompok serta orang-orang yang hadir saat itu.
“Orang tua tidak wajib datang atau menjadi saksi. Ada yang mewakili sebagai saksi saja sudah cukup”. Ungkap wanita itu dengan enteng.
Setelah satu tahun berlalu, rasa bosan mulai timbul di hati kedua insan ini. Mereka pun sepakat untuk tidak meneruskan ikatan perkawinan yang telah dijalani keduanya sejak satu tahun silam. Ani pun kembali menjalani kehidupannya tanpa seorang kekasij di sisinya.
Tapi, ini tak berlangsung lama. Dan ternyata kekasih barunya itu tak lain adalah adik kandung Adi sendiri, mantan “suaminya” yang dulu. Alasannya, Ani telah merasa cocok dengan lingkungan keluarga Adi.
Bisa diduga, keduanya juga melakukan kawin kontrak dengan jangka waktu satu tahun. Dan seperti sebelumnya, kawin kontrak ini pun hanya berumur satu tahun saja.
“Saya tidak menemukan kasih sayang seperti yang diberikan kakaknya, sehingga setelah satu tahun saya memutuskan tidak meneruskan lagi” tambah anak seorang pengusaha yang bergerak dibidang kontraktor ini.
Sebenarnya, selama ia menjalani kawin kontrak tak sedikit gunjingan yang diterimanya. Namun diibaratkan, ‘masuk kuping kanan keluar kuping kiri’, tak satupun gunjingan itu yang digubrisnya. Tetapi, lama kelamaan mereka ini merasa dikucilkan teman-temannya, dan Ani pun merasa stres, terlebih sejak ia pisah dengan ‘suami’ keduanya.
“Saya mulai dijauhi teman-teman kost, mereka tampak sekali menjaga jarak”. Katanya dengan sedikit terbata-bata.
Untungnya, sikap teman-teman serta dasar agama yang dimilikinya waktu kecil mampu menuntunnya untuk meninggalkan kebiasaan kawin mut’ah. “Akhirnya, saya memutuskan untuk menjauhi kehidupan yang selama ini telah saya lakukan itu”. Tutur wanita yang tampak tegar akan keadaannya itu. Alhamdulillah. (pz/bersambung)
Foto: Ilustrasi