Salah satu perintah Sultan, bahwa tiang-tiang Masjid Jami’ itu mesti dibuat dari bahan marmer. Tiang-tiang itu juga harus dibuat tinggi, agar Masjid Jami’ bisa dilihat dari berbagai penjuru. Sultan Al Fatih pun menentukan batas ketinggian yang harus dicapai itu. Perintah itu langsung ditujukannya kepada Epsalanti tadi.
Akan tetapi dalam pembangunannya, Epsalanti malah memotong tiang-tiang itu. Hingga ketinggian tiang Masjid Jami’ itu tak seperti yang dipesan oleh Sultan. Epsalanti bersikap demikian karena suatu sebab. Ketika Sultan mengetahui hal itu, dia marah besar. Epsalanti dianggap melakukan pencurian karena mengurangi ketinggian tiang-tiang tadi. Sultan Al Fatih pun memerintahkan agar tangan Epsalanti dipotong.
Ternyata keputusan itu langsung dieksekusi. Tangan Epsalanti dipotong. Pasalnya tiang-tiang yang sudah dibawa dari tempat yang jauh, menjadi tak berguna sama sekali. Perintah potong tangan itu dikeluarkan Sultan Al Fatih dalam keadaan emosi dan marah.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Tangan Epsalanti sudah terpotong. Sultan Al Fatih pun sempat menyesali keputusannya itu. Karena dianggapnya perintah itu terlalu berlebihan.
Namun di mata Epsalanti, tindakan Sultan itu sudah kelewatan. Itu sudah dianggap sebuah kedzaliman, begitulah pandangan Epsalanti. Alhasil dirinya pun mengadukan Sultan Al Fatih kepada Mahkamah Al Isti’naf itu.
Di Mahkamah itu ada seorang Qadhi yang dikenal adil. Namanya Syaikh Shari Khidr Jalabi. Dialah yang kemudian mengadili kasus ini. Qadhi Syaikh Shari Khidr Jalabi kemudian mengutus orang untuk memanggil Sultan Al Fatih untuk datang ke pengadilan. Karena, walau sebagai Sultan, Al Fatih mendapat aduan dari seorang rakyatnya yang menuntut keadilan.