Suatu hari Pangeran Djonet mendapat informasi jika ayahandanya tidak ditahan di penjara bawah tanah, namun di tempatkan di ruang kepala sipir yang berada di lantai atas sayap barat gedung. Tepat di atas penjara bawah tanah di mana Kiai Mojo beserta pasukannya pernah ditahan. Pangeran Djonet berupaya mencari tahu bagaimana sistem penjagaan dan keamanannya.
Namun terlambat, pada 3 Mei 1820, diam-diam Diponegoro telah dibawa dengan Kapal Pollux meninggalkan Batavia menuju kawasan timur yang jauh dari Jawa. Di kapal itu, Diponegoro dijaga oleh 50 serdadu Belanda.
Pangeran Djonet tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan sang ayah agar Allah senantiasa melindungi dan memberikan kasih sayangnya. Masih terbayang jelas di matanya, tatkala sang ayah memeluknya sebelum bertemu De Kock di Wisma Karesidenan Kedu. Saat itu Diponegoro berbisik, “Anakku, apa pun yang terjadi nanti itu yang terbaik dari Allah bagi kita. Semoga nanti kita bisa berkumpul kembali, entah di dunia ini atau nanti di jannah. Kuatkan hatimu…”
Akhirnya Pangeran Djonet menjadi guru ngaji dan diangkat menjadi Imam Besar di Masjid Jami Mataraman yang dibangun tahun 1820[ Masjid ini dipakai oleh Soekarno, Hatta, dan lainnya untuk sholat Jumat, usai pembacaan proklamasi 17 Agustus 1945, di mana saat itu adalah bulan Ramadhan. ]. Tapi ini cuma berjalan sebentar karena mata-mata Belanda diketahui telah mencurigai dirinya.
Demi keamanan semuanya, Pangeran Djonet dan anak buahnya pamit dari Mataraman dan pindah ke wilayah lebih ke pelosok yang sekarang ada di sekitaran Pasar Minggu dan Condet.
Di sini, pada 1832, Pangeran Djonet yang sudah berusia 17 tahun mendapatkan jodoh, seorang gadis Tionghoa dari Dinasti Tang bernama Bun Nioh yang bersedia bersyahadat dan berganti nama menjadi Nyi Mas Ayu Fatmah, dan kelak menjadi pendampingnya yang setia dalam suka dan duka.
Ikhtiar Pangeran Djonet membebaskan ayahandanya menemui kegagalan, namun itu semua sudah dianggapnya sebagai takdir Illahi. Akhirnya Pangeran Djonet bergabung dengan para mujahidin Jayakarta mengorganisir diri melawan kompeni. Dari Condet, Pangeran Djonet berpindah tempat lagi ke daerah Cikaret, Bogor, hingga akhir hayatnya. Makamnya saat ini berada di tengah-tengah pemukiman warga, di antara anak cucu keturunannya di daerah Cikaret, Bogor.
***
Museum Fatahillah Jakarta menyimpan sejumlah informasi dan peninggalan Pangeran Diponegoro ketika sempat selama lebih satu bulan ditahan di sana. Letaknya di Kamar Diponegoro. [rz]
———————–
Nb. Tulisan di atas berasal dari bagian akhir novel “Jihad Diponegoro 1826-1830” yang ditulis Rizki Ridyasmara dan diterbitkan oleh Eramuslim. Bagi yang berminat silakan kontak Marketing Eramuslim. Ada harga khusus.