Eramuslim.com – Pangeran Djonet dan pasukan kecilnya tidak melewati gerbang kota yang dijaga satu regu pasukan Belanda, melainkan mengambil jalan sedikit memutar, menyeberangi sebuah kali kecil dan dangkal, lalu menerobos semak-semak yang cukup rapat yang tidak begitu jauh dari pintu gerbang.
Mereka beruntung masih bisa memantau pergerakan kereta Belanda itu dari kejauhan lewat dua cahaya lentera yang digantungkan di bagian belakangnya.
“Saya yakin mereka menuju karesidenan, Pangeran…,” ujar Mursyid lagi.
“Ya, kita ikuti terus sampai mereka berhenti,” jawab Pangeran Djonet.
“Siap!”
Dan benar saja. Rombongan besar pasukan Belanda itu memang memasuki pekarangan karesidenan yang sudah dijaga dengan sangat ketat.
“Rupanya mereka akan beristirahat disitu….”
Pangeran Djonet menoleh ke arah Mursyid. “Mungkinkah sekarang juga kita bebaskan ayahanda, Paman?”
Yang ditanya tidak segera menjawab dan kemudian dia menggelengkan kepalanya.
“Terlalu beresiko, Pangeran. Dan saya yakin, Kanjeng Sultan pun pasti sudah teramat lelah. Beliau butuh istiahat sekarang ini…”
Pangeran Djonet mengangguk-angguk. “Jika demikian, kita juga beristirahat di sini saja. Jangan lupa kita tetap berjaga bergiliran…”
“Siap, Pangeran! Saya berjaga terlebih dahulu. Pangeran dan yang lainnya silakan beristirahat terlebih dahulu,” kata Mursyid yang memang belum tampak kelelahan atau pun mengantuk sedikit pun. Pangeran Djonet mengangguk sambil tersenyum. Dia begitu bangga memiliki anak buah yang sangat kuat dan setia seperti Mursyid, jawara asli Menoreh yang usianya jauh di atasnya.