eramuslim.com
Oleh: Fariz Alniezar
Penjara hanya mampu mengurung badan, bukan pikiran. Sejumlah ulama justru membuat karya monumental dari baik jeruji besi.
Sekelompok anak muda membesuk As-Sarakhsi, ulama mazhab Hanafi, yang tengah meringkuk di penjara menjalani masa hukuman. Menurut sebuah riwayat, penjara tempat menghukumnya berupa lubang mirip sumur.
Fatwa dan pendapat As-Sarakhsi tentang ketidakbolehan menikahi budak yang berstatus belum dimerdekakan membuat hakim berang kepadanya. Kemarahan hakim itulah yang menyeretnya ke penjara.
Anak-anak muda yang membesuk As-Sarakhsi bukan hanya bermaksud memberikan dukungan morel kepada gurunya, tapi lebih mereka juga rindu dengan pengajian-pengajian yang digelar oleh As-Sarakhsi.
Atas dasar kerinduan yang mendalam, para murid itu meminta kepada gurunya untuk menjelaskan kitab Al-Kāfi karangan Al-Marwazi, ulama asal Baghdad. Tidak disangka sebelumnya, dari kejadian itu kelak lahir sebuah kitab babon dalam disiplin ilmu fikih Mazhab Hanafi bertajuk Al-Mabsūth.
Kitab pegangan mazhab Hanafi itu terdiri dari tiga puluh jilid. Ditulis As-Sarakhsi dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya, akhirnya karya tersebut mampu ia dirampungkan semasa menjalani hukuman selama kurang lebih sepuluh tahun.
Al-Mabsūth merupakan kitab induk yang bersifat ensklopedis. Kitab ini tak hanya memuat pandangan-pandangan ulama mazhab Hanafi, tapi juga mencantumkan pandangan-pandangan ulama lintas mazhab.
Banyak yang mengatakan kitab Al-Mabsuth karya As-Sarakhsi setara dengan kitab-kitab induk dalam mazhab lain seperti Majmū’ Syarhil Muhazzab anggitan An-Nawawi dari Mazhab Syafi’i, dan Al-Mughnī karya Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali.
Ketekunan dan produktivitas As-Sarakhrsi tidak hanya itu. Selain menghasilkan Al-Mabsūth, ia juga berhasil merampungkan kitab yang berisi komentar terhadap karya As-Syaibani yang bertajuk As-Sair Al-Kābir. Penderitaan nyatanya tidak menyurutkan seinci pun semangatnya untuk terus berkarya.