Pertarungan antar dua kandidat capres saat ini adalah pengulangan dari pertarungan antar elit di tahun prahara 1998. Banyak komponen Umat Islam akhirnya lagi-lagi harus bersikap “Mendingan-Daripada”. Apa pun yang terjadi, akhirnya oligarki elit tetap akan berkuasa.
*
Pertarungan antar dua kandidat capres-cawapres, Prabowo-Hatta versus Jokowi-JK, yang mengisi hari-hari kita sekarang sesungguhnya merupakan pengulangan dari pertarungan elit negeri di tahun 1998.
Pada tahun 1998, Presiden Suharto menjadi tokoh sentral, sang raja yang sudah tua dan pikun. Sebab itu, dua kekuatan di dekatnya yang secara ideologis kebetulan berseberangan berusaha mati-matian untuk mendapatkan warisan kekuasaan setelah Suharto lengser-keprabon. Mereka adalah pasukan gerombolan Jenderal Leonardus Benny Moerdhani versus Militer Hijau yang didalamnya termasuk pula Prabowo di kelompok ini.
Kelompok pertama mewakili faksi tentara Katholik-Liberal dimana sekarang, masih tetap bercokol walaupun minus Benny yang sudah mangkat, sebagian besar mereka kini berada di belakang kubu Jokowi-JK.
Jika kita cermat menelaah siapa saja di belakang kubu Jokowi-JK maka akan kita lihat para Islamofobi berkumpul semua di sini, dari aktivis JIL, kelompok Syiah, aktivis Kristen, aktivis Katholik, kaum oportunis, dan sebagainya. Bahkan bukan rahasia umum lagi jika sikap Gereja, walau di permukaan menyatakan netral, namun ‘gembala dan domba-dombanya’ berada di belakang kubu Jokowi-JK.
Agenda mereka jelas, ingin mengembalikan situasi politik negeri ini seperti masa kejayaan mereka dahulu ketika CSIS-Jesuit-Sekuler berada dalam lingkaran elit kekuasaan dan menjadikan umat Islam pesakitan dengan peristiwa-peristiwa Tanjung Priok, Warsidi-Lampung.
Dan lawan mereka, dalam militer adalah Prabowo Subianto , yang pada era tahun 1990-an dikenal sebagai putera mahkota pimpinan militer di negeri ini.
Sejarah sudah menorehkan tintanya jika akhirnya pada pertarungan 1998, dalam masa masa krisis , Prabowo tersingkirkan dengan tuduhan HAM dan keterlibatan aksi penculikan aktivis dan sebagainya, sehingga karirnya dimatikan di militer.
Dan kini, Indonesia hari ini adalah Indonesia sebagai negeri dengan utang ratusan ribu triliun rupiah. Banyak kekayaan alamnya dikuasai pihak asing. Belum lagi tingkat korupsi para pejabatnya yang sangat parah, dari level paling bawah hingga ke atas, dari kubu militer sampai kubu sipil.
Siapa pun presidennya nanti, dia akan menghadapi hal ini. Jika presidennya kuat, tegas, cerdas, dan berintegritas, maka dia harus menyikat semua kerusakan ini dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Namun jika presidennya lembek, kurang cerdas, tidak tegas, apalagi disetir oleh partai politik atau elit-elit yang ada di samping atau belakangnya, maka siap-siaplah bangsa ini mengalami kehancuran yang lebih dahsyat. Indonesia yang sudah compang-camping, akan menjadi jauh lebih rusak dari sebelumnya.
Perangkap Demokrasi
Hari-hari ini kita bisa melihat umat Islam—apakah itu yang ada di partai politik, ormas, maupun pribadi-pribadi— sebagian besarnya berkumpul di kubu Prabowo-Hatta. Ada juga sedikit dari umat Islam yang masih mau berada di kubu Jokowi-JK, mereka inilah yang dari dahulu selalu berada di sisi lain , atau mungkin belum sadar jika kubu yang mereka bela jika berkuasa akan sangat berbahaya bagi akidah tauhid di negeri ini.
Apakah itu dengan berbasis dukungan sebagian besar Partai dan ormas Islam berarti kubu Prabowo-Hatta akan memperjuangan syariat Islam di Indonesia? Wallahu’alam, karena belum ada janji dan kepastiannya hingga saat ini, dan belum pernah terucap hal itu dari pasangan ini. Namun banyaknya umat Islam yang bergabung di sini hanya karena mereka mempertimbangkan perhitungan mudharat dan manfaat. Istilahnya “Daripada-mendingan”. Walaupun demikian bagi umat Islam. kedua kandidat Presiden RI tersebut tetaplah masih dalam kondisi membeli kucing dalam karung..
Dengan jawaban politik “Daripada Mendingan” lagi-lagi umat Islam terperangkap dalam sistem demokrasi. Tidak ada jaminan jika—siapapun nanti yang terpilih— apakah lagi-lagi umat Islam akan hanya berperan sebagai pendorong mobil yang mogok, dan akhirnya menjadi penonton yang didekati bilamana diperlukan dan setelah tidak diperlukan maka dicampakkan.
Ini skenario terburuk tentunya, mudah-mudahan tidak terjadi.
Namun yang pasti, semua keadaan ini sudah diskenariokan di atas meja oleh para elit dunia, oleh para pemimpin global, yang duduk di bawah The One Eye, Mata Satu Illuminaty. Merekalah yang merancang, setelah Indonesia lepas dari sistem totaliter Suharto, maka bangsa ini harus masuk ke dalam sistem demokrasi yang sesungguhnya ‘demo-crazy’ yang berkedok istilah keren bernama Reformasi.
Dalam kenyataannya, bangsa ini setiap waktu disibukkan oleh berbagai aktivitas politik seperti pemilihan umum dari tingkat bawah sampai atas, pemilihan kepala desa, pemilihan walikota, pemilihan gubernur, legislatif, hingga presiden dan wakilnya. Sepanjang tahun energi bangsa ini dikuras habis dan ‘tradisi baru’ ini memunculkan koruptor-koruptor baru di mana-mana.
Sekali lagi…kembali umat Islam teperangkap oleh kondisi “Daripada-Mendingan”. Namun inilah tantangan ril yang ada di depan mata kita semua. Seharusnya, di sisi lain, ada ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam yang mulai memikirkan kembali agar umat Islam Indonesia tidak lagi-lagi menjadi komoditas politik, namun bisa menjadi pimpinan politik di negeri ini agar bisa menjadikan Indonesia sebagai satu negeri yang bertauhid .
Inilah pekerjaan rumah yang teramat besar bagi tokoh-tokoh Islam
Indonesia. (Tamat/ Rizki Ridyasmara)