Sebut saja pemuda yang sudah memiliki isteri dan satu anak itu Cakil. Saat gelombang mahasiswa turun ke jalan menuntut Suharto mundur di tahun 1998, dia hanyalah seorang guru les privat di sebuah lembaga bimbingan belajar di pingggiran Jakarta. Penghasilannya pas-pasan. Walau demikian, dia masih bersyukur bisa kemana-mana menggunakan motor Honda CB100 butut peninggalan almarhum ayahnya. Isteri Cakil seorang perempuan yang baik, dia setia dan tidak banyak menuntut. Untuk membantu mencari nafkah, tiap habis sholat subuh, isterinya sudah membawa beberapa keranjang kue donat bikinannya untuk dititipkan ke sejumlah warung di sekitar rumah kontrakkannya. Selain itu, setiap bada asyar, sang isteri juga mengajar anak-anak kecil mengaji di mushola dekat rumah.
Cakil dan keluarga menempati sebuah rumah petak kontrakkan yang kondisi atapnya sudah bocor di sana-sini di sebuah gang sempit di kampung. Namun walau demikian dia tetap berusaha bersyukur karena setidaknya sudah memiliki tempat naungan, walau belum milik sendiri.
Ketika Suharto jatuh, rakyat Indonesia dilanda euforia demokrasi. Teman-teman Cakil mengontaknya dan mengatakan jika mereka akan mendirikan sebuah partai politik. Cakil menyambut baik hal itu. Rapat demi rapat pun digelar di berbagai tempat, bahkan sampai pagi. Cakil sangat giat mengikuti semua rapat yang ada, walau dia hanya duduk bersila di barisan belakang yang lainnya.
Sebuah partai politik terbentuk. Cakil diamanahkan jabatan sebagai koordinator wilayah. Tentu saja Cakil menerimanya dengan sepenuh hati, walau dari jabatannya ini dia sama sekali tidak diiming-imingi gaji.
Hari berganti bulan, pemilihan umum pun digelar. Parpol tempat Cakil bernaung disahkan sebagai partai peserta pemilu. Cakil sangat bersemangat berkampanye. Dari kampanye model tradisional sampai ke dunia maya. Untunglah, partainya mengusung jargon-jargon anti korupsi dan hidup bersih. Masyarakat Indonesia saat itu sangat muak terhadap kasus-kasus KKN era Suharto. Hasil pemilu menempatkan parpolnya ke dalam posisi yang tidak mengecewakan. Beberapa teman-temannya yang
dijagokan sebagai caleg berhasil mendulang suara yang tidak sedikit. Cakil ikut bersyukur.
Setelah hasil pemilu legislatif diumumkan KPU, partainya masuk ke dalam posisi atas. Kini parpol-parpol sibuk membahas calon presiden yang akan diusung. Orang-orang yang berada di atas Cakil sangat sibuk rapat ini-itu dan pertemuan ini-itu, tidak saja dengan anggota satu partai, tapi lintas partai.
Tiba-tiba petinggi partai tempat Cakil bernaung sepakat mendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden yang diusung partai lain. Hati kecil Cakil bertanya-tanya karena calon yang didukung itu sebenarnya memiliki track record yang kurang baik. Tapi elit partai mengatakan bahwa calon itu sudah berubah dan sudah menjadi manusia yang baik dan amanah. Cakil tunduk dan menuruti semuanya.
Tak lama kemudian kehidupan para petinggi partai sudah mulai berubah dengan baik, demikian juga Cakil. Yang semula mereka hanya menempati rumah kontrakkan atau masih menumpang di PIM (Pondok Mertua Indah), kini beberapa petinggi partai sudah mampu membeli sebuah rumah. Tidak tanggung-tanggung, dari rumah kontrakkan yang biasa saja, mereka sanggup membeli rumah yang termasuk mewah. Bukan itu saja, mereka juga mampu membeli kendaraan roda empat dan juga seluruh isi rumah dengan uang yang dimilikinya.
Karena kesetiaannya, jabatan Cakil di dalam struktur partai naik. Dia kini menjabat posisi yang cukup bagus di tingkat pusat. Cakil juga kecipratan ‘rezeki’ yang lumayan. Setiap bulan kini dia menerima gaji tetap. Bahkan sering kali dia kini diberi uang dalam amplop atau dalam bentuk cek yang dia tidak pernah bertanya dari mana dan untuk apa. Petinggi partai hanya bilang jika itu merupakan berkah demokrasi. Cakil pun menerimanya dengan penuh rasa syukur, walau dia masih tinggal di rumah petakkannya itu. Cakil yang semula lugu dan menjalani hidup dengan lurus, sekarang telah berubah menjadi seorang pemuda yang sibuk kesana-kemari mencari ‘proyek’ dan ‘sikutan’. Itu dilakukannya bersama-sama dengan petinggi partainya. Modal mereka adalah perolehan suara yang lumayan banyak dari pemilihnya.
Bagi mereka, suara itu bukan hanya sekadar amanah, tapi juga modal utama untuk meraih berbagai jabatan politis seperti anggota legislatif, menteri, dirjen, dan sebagainya . Jabatan-jabatan politis seperti itu merupakan ‘lahan basah’ untuk mendapatkan apa yang mereka namakan berkah demokrasi. Demokrasi hanyalah alat, itu kata mereka. Ya, alat untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.
Walau tidak duduk di bangku legislatif atau menjadi menteri, tetapi Cakil ‘dititipkan’partai menjadi salah satu staf ahli menteri. Walau keahliannya hanyalah mengajar sejumlah mata pelajaran di tingkat sekolah dasar, namun dia sekarang menjadi staf ahli seorang menteri yang bidangnya sangat jauh dari keahliannya.
“Tidak apa-apa, nanti kamu bisa belajar di sana,” demikian ujar atasannya di partai.
Kehidupan Cakil pun mulai berubah walau masih sedikit demi sedikit. Dia kini bisa menempati rumah sewa yang lebih baik, pakaian yang lebih rapi dan necis, serta mencicil sebuah motor baru.
Datanglah musim Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah. Kali ini pemilihan seorang bupati. Karena kesetiaannya kepada partai, Cakil ditawari untuk maju dalam pilkada ini. Awalnya Cakil menolak secara halus karena dia merasa tidak punya dana yang cukup untuk kampanye dan segala hal yang berkaitan dengan pilkada yang jumlahnya miliaran rupiah. Dia kemudian dipanggil secara pribadi oleh petinggi partai.
“Cakil, kamu maju saja sebagai jagoan dari partai kita. Soal dana, kita yang menyiapkan. Jika kamu menang, kamu harus melunasinya…,” ujar mereka. Cakil akhirnya setuju.
Cakil akhirnya terpilih menjadi seorang bupati. Isterinya sangat bersyukur. Dari rumah petak kontrakkan mereka pindah ke rumah dinas yang luas dan mewah. Dalam waktu singkat mereka bahkan mampu membeli sebuah rumah mewah di kompleks perumahan bergengsi lengkap dengan kendaraan roda empat jenis terbaru. Bukan itu saja, Cakil pun mulai mengambil kursus privat bermain golf.
Banyak teman-teman Cakil yang tidak aktif berpartai memujinya, namun tak sedikit yang mencurigainya. “Darimana uang untuk membeli semua itu? Bukankah gaji sebagai bupati sedikit dan tidak akan bisa membeli semua kemewahan itu?”
Cakil hanya tersenyum dingin. Mereka tidak tahu jika seorang pejabat di zaman itu sama sekali tidak mengandalkan gajinya. Seorang pejabat, apalagi kepala daerah walau itu hanya setingkat kabupaten, memiliki anggaran belanja yang jumlahnya sangat banyak. Itu bisa dipakai sesuka hatinya, dengan memalsukan sejumlah dokumen pembelian dan juga pembukuan. Soal auditor? Tenang saja. Asal uang itu dibagi-bagi ke sejumlah orang yang bersangkutan, maka amanlah segalanya.
Dan untuk ‘melunasi’ hutang-hutang biaya kampanyenya, maka Cakil memberikan jabatan-jabatan ‘basah’ kepada sejumlah rekan-rekannya agar mereka bisa juga ‘menikmati demokrasi’. Demi keluarga dan partai, demikian semboyan mereka.
Cakil sudah sangat lihai dalam hal ini. Namun Cakil hanyalah manusia biasa yang juga memiliki hati nurani. Jauh di dalam hatinya dia gelisah dengan apa yang selama ini dia lakukan. Ada perasaan bersalah. Dan untuk menentramkan perasaannya ini, hampir setiap tahun Cakil memboyong keluarganya untuk umroh ke Tanah Suci. Di depan Ka’bah, Cakil menangis tersedu-sedu memohon ampunan hingga ratusan bahkan ribuan kali. Selain rajin sholat wajib, dia juga mengerjakan sholat-sholat sunnah yang banyak di Tanah Suci ini. Hatinya tenang dan tentram.
Sepulang dari umroh, Cakil kembali kepada kesehariannya. Dia kembali kasak-kusuk dengan segala kekotoran dan nikmat duniawi yang sesungguhnya bukan haknya. Ketika hatinya sudah tak tahan lagi, dia kembali umroh ke Tanah Suci dan menggelar aneka pengajian di rumah mewahnya. Itu terjadi berulang-ulang.
Kisah tentang Cakil adalah kisah tentang para pejabat negeri ini. Bukan semuanya, namun kebanyakan ya seperti itu. Demokrasi di Indonesia adalah ilusi. Yang berlaku di negeri ini bukanlah demokrasi, melainkan Oligarki, dimana kelompok-kelompok orang kaya bisa dengan semaunya mengatur dan memerintah negeri dengan kekayaannya.
Dalam tulisan selanjutnya akan dipaparkan kondisi negeri ini sekarang dalam perangkap demokrasi, serta hari-hari ini dimana terjadi pengulangan sejarah tahun 1997-1998. (Rizki Ridyasmara/bersambung)