Eramuslim.com – Di acara yang dipandu oleh Karni Ilyas itu, Panglima TNI berbicara tentang dampak peak oil theory (teori puncak minyak) terhadap geopolitik dunia dan Indonesia.
Menipisnya produksi minyak, kata Gatot, membawa dampak berantai, seperti perubahan gaya hidup dan model bisnis, krisis/depresi ekonomi, hingga meningkatnya kejahatan dan konflik.
“Depresi ekonomi pasti sebanding dengan meningkatanya kejahatan dan konflik. Dan bermuara pada persaingan global,” kata Gatot.
Di sisi lain, populasi dunia terus bertambah, yang di tahun 2017 akan berjumlah 8 milyar orang. Normalnya, daya tampung bumi hanya 3-4 milyar orang.
“Setiap hari ada 41.095 anak-anak di dunia meninggal karena kemiskinan, kelaparan dan kesehatan buruk,” ungkapnya.
Di satu sisi, ketersediaan energi fosil, khususnya minyak, makin menipis. Di sisi lain, kebutuhan konsumsi energi terus meningkat 40 persen akibat penambahan populasi dunia.
Tetapi saat ini, kata Gatot, terjadi pergeseran dari energi fosil ke energi nabati. Bicara energi nabati, adanya di negara-negara di dekat ekuator: Asia Tenggara, Afrika Tengah dan Amerika Latin.
“Di Asia tenggara, yang terbesar adalah di kepulauan Indonesia. Indonesia kaya semuanya,” jelasnya.
Pada titik itulah, ungkap Gatot, Indonesia dengan kekayaan alamnya akan menjadi rebutan. Dia kemudian mengutip Sukarno: “kekayaan alam Indonesia suatu saat nanti akan membuat iri negara-negara di dunia.”
Dalam konteks itulah, Indonesia akan terus menjadi incaran untuk dilemahkan dan direbut kekayaan alamnya.
Berikut 6 ancaman menurut Panglima TNI:
Pertama, pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di Darwin
Menurut Gatot, di Darwin ada 1250 sampai 2500 personil marinir Amerika Serikat.
“Darwin jaraknya hanya 479 km dengan Serwaru. Di situ ada Pulau Marsela dan Blok Masela. Boleh dong saya khawatir sebagai Panglima TNI,” paparnya.
Kedua, masalah laut Tingkok selatan
Menurut Gatot, hampir semua kapal-kapal yang ditangkap oleh Angkatan Laut (TNI AL), terutama tiga kejadian terakhir, dikawal oleh Coast Guard (penjaga pantai) Tiongkok.
“Mereka mengklaim itu pantainya, padahal berada di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia,” jelasnya.
Belakangan, ungkap Gatot, Filipina mengklaim Laut Tiongkok Selatan melalui pengadilan intenasional. Dan tanggal 12 Juli lalu, Pengadilan Arbitrase memenangkan klaim Filipina.
Tetapi Tiongkok menolak klaim itu. Presiden Tiongkok Xi Jinping menegaskan bahwa kedaulatan wilayah dan hak maritim Tiongkok di di latut tidak akan dipengaruhi oleh keputusan dengan cara apapun.
“Ini potensi konflik di sekitar kita,” tegas Gatot.
Ketiga, manuver Five Power Defence Arrangements (FPDA)
Tanggal 14-21 Oktober, FPDA menggelar latihan besar-besaran dengan melibat 3000 personil, 71 pesawat tempur, 11 kapal tempur dan kapal selam.
FPDA adalah hubungan pertahanan negara-negara Persemakmuran Inggris, yang meliputi Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura. Kesepakatan yang dibuat tahun 1971 itu menegaskan bahwa kelima negara akan saling bantu jika ada serangan dari luar terhadap Malaysia, Singapura, Australia dan Selandia Baru.
Keempat, ancaman Narkoba
Menurut Gatot, sebanyak 2 persen atau 5 juta penduduk Indonesia terkena narkoba. Setiap tahunnya ada 15.000 orang meninggal karena obat terlarang itu.
“Dan itu fenomena gunung es. Pasti angkanya lebih besar. Bosan kita mendengar laporan dari Kepolisian dan BNN menangkap sekian kilo sabu tiap hari. Dan itu transaksinya di Malaysia,” ungkap Gatot.
Gatot menceritakan dampak narkoba pada sebuah bangsa dengan merujuk pada perang candu antara Tiongkok dengan Inggris dan Perancis. Dalam perang tersebut, Tiongkok kalah.
“Rakyat dan tentaranya kena candu, akhirnya kalah. Harus menggadaikan Hongkong dan Taiwan,” jelasnya.
Kelima, ancaman terorisme
Gatot mengutip pernyataan Bahrum Naim, teroris yang dituding mendalangi serangan Sarinah awal Januari lalu: “apabila di Suriah sudah tidak aman, maka kembali ke daerah masing-masing melakukan khilafah. Dengan apapun kamu melakukan.”
“Tidak lama kemudian, di Perancis menggunakan bus menabrak. Pendeta ditusuk pisau,” ujarnya.
Masalahnya, kata Gatot, UU terorisme di Indonesia lemah dalam menangkap terorisme. Berbuat dulu baru ditangkap.
“Indonesia tempat paling enjoy bagi terorisme, kita tinggal tunggu saja,” tandasnya.
Namun, menurut Gatot, terorisme juga terkait dengan perebutan ladang energi. Dia merujuk pada kasus Irak, Libya dan Suriah.
“Hanya permasalahan di dalam negeri, baru dicap teroris, kemudian pasukan koalisi masuk, lalu bagi-bagi. Karena punya energi,” paparnya.
Keenam, persaingan ekonomi
Gatot merujuk pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat, PDB Indonesia yang urutan ke-8 dunia, kepercayaan konsumen yang tinggi, dan dampak dari program amnesti pajak.
Dan sebagai kekuatan ekonomi besar, Indonesia berpotensi untuk digoyang.(jk/berdikarionline)