Umar Baha’usddin Al Amiri, duta Suriah di kerajaan Arab Saudi waktu itu, datang menemui Raja Su’ud dan mengatakan kepadanya,” Abdul Nashr hendak menghukum mati para ulama di negerinya. Alangkah baiknya bila tuan menengahi persoalan mereka. Lalu Raja mengirim putra mahkota Pangeran Faesal ke Mesir untuk menemui Jamal Abdul Nashr. Tujuan kunjungannya adalah untuk memintakan keringanan hukuman bagi para ulama yang akan dihukum mati. Tapi Jamal Abdul Nashr mengetahui rencana kunjungan ini, maka dia memerintahkan anak buahnya untuk mengeksekusi mereka pada malam hari sebelum Pangeran Faehal tiba Mesir.
Jamaah Ikhwanul Muslimin diperangi, para aktifisnya dimasukkan dalam penjara, dan setiap muslim yang taat menjalankan ajaran agamanya dimusuhi karena kasus Ikhwanul muslimin.
Tahun 1965 M, Dinas Intelijen Amerika mengirim pernyataan kepada jamal Abdul Nashr,” Anda mengira bahwa anda telah menghentikan arus kebangkitan Islam di negeri muslim. Tapi itu keliru, sebab disana masih ada gerakan Islam yang berada di bawah permukaan. Buktinya, Buku Ma’aalimu Fith Thoriq (Petunjuk Jalan) karangan Sayyid Qutb banyak tersebar di pasar pasar. 30,000 eksemplar buku laku terjual dala waktu relative singkat, semuanya dibeli oleh kaum militant”.
Fakta ini membuat Intelijen AS dan Negara Negara barat tergoncang, mereka mengatakan, “ Jika demikian, di sana masih ada gelombang Islam di bawah permukaan , gerakan tersebut harus diselidiki dan disingkap”.
Ketika Jamal Abdul Nashr berada di Rusia, ia mengeluarkan pernyataan, “ Kami berhasil membongkar suatu persekongkolan yang bermaksud menyingkirkan saya. Persekongkolan itu didalangi oleh Ikhwanul Muslimin. Kami berhasil menangkap 17,000 orang aktifis dalam sehari. Jika makar pertama kami maafkan, maka untuk yang kedua kali ini tidak akan kami maafkan.
Selanjutnya Jamal Abdul Nashr mensuplai berbagai alat penyiksaan kepada sipir penjara. Alat alat itulah yang digunakan untuk menyiksa para aktifis Ikhwan yang dijebloskan ke penjara….bersambung – Abdullah Azzam-