Konflik-konflik di atas sebetulnya diperburuk oleh beberapa faktor, antara lain; membanjirnya pemukiman Kristen ke wilayah-wilayah Muslim secara tak terkendali; penelantaran nasional yang terus-menerus terhadap aspirasi ekonomi dan pendidikan bangsa Moro; diskriminasi yang terang-terangan dalam melayani kaum muslim dikantor-kantor pada tingkat nasional; hilangnya kekuasaan politik para pemimpin Moro di daerah kekuasaan mereka semula; konflik tajam mengenai tanah antara penduduk Moro dan Kristen.
Sejumlah alasan inilah yang secara progresif meningkatkan pertikaian bersenjata antara kelompok Kristen dan Moro dimana kepolisian atau tentara biasanya memihak pada pihak yang pertama. Tak aneh, bila orang-orang Moro meneriakkan isu “pembersian etnis” untuk menarik simpati Dunia Muslim.
Maka ketegangan itu mengalami puncaknya pada tahun 1972. Kala itu, saat Presiden Ferdinand Marcos tengah menerapkan hukuman mati dengan diikuti usaha-usaha melucuti senjata orang-orang Moro, muncul pemberontakan secara terbuka. Gerakan pembebasan yang paling mendapat dukungan luas ialah Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) dengan kelompok militer mereka, Tentara Bangsa Moro (BMA) yang dipimpin oleh Nur Misuari, mantan pengajar dari Universitas Filipina. Organisasi inilah yang kemudian banyak mendapat sambutan dunia Islam. Baik media massa cetak maupun elektronik dari pelbagai negara pernah menceritakan aktifitas revolusioner-radikal MNLF.
Dampak pemberitaan media memang luar biasa. Beberapa negara Islam turut prihatin atas nasib orang-orang Moro. Maka, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersama mediasi Libya mempengaruhi pemerintah Filipina dan MNLF guna menandatangani Perjanjian Tripoli pada 1976, yang memberi suatu bentuk otonomi khusus bagi tiga bekas provinsi yang berpenduduk Muslim.
Namun, baik otonomi yang diberikan oleh rezim Presiden Marcos pada 1977 maupun otonomi di bawah pemerintahan Corazon Aquino pada 1989 tidak memuaskan harapan OKI dan tuntutan MNLF. Tak heran, pada tahun itu pula, MNLF memperbaharui tuntutannya untuk memisahkan diri dari Filipina sambil mencari status keanggotaan OKI.
Walhasil, terobosan paling signifikan adalah ketika wilayah otonomi Muslim Mindanao terwujud pada tahun 1990 yang secara langsung memberikan peluang bagi kaum Muslim untuk mengatur beberapa aspek pemerintahan di luar bidang Keamanan dan Luar Negeri. Itu pun karena Mindanao termasuk salah satu daerah yang susah ditundukkan penjajah.