Seorang dokter bedah Indonesia yang sering bepergian ke medan konflik di seluruh dunia seperti Afghanistan, Irak, Lebanon, Palestina, Somalia, dan lain-lain pernah memaparkan kekesalannya atas pengiriman tenaga-tenaga medis Indonesia ke Israel dalam rangka pelatihan ICU (Intensive Care Unit).
Saat bertemu eramuslim pertengahan Januari lalu, si dokter yang tidak ingin namanya ditulis karena takut menyulitkannya jika ingin bepergian ke luar negeri mengatakan, rumah-rumah sakit besar yang ada di Indonesia, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sudah lazim mengirim tenaga-tenaga medisnya untuk mendapat pelatihan ICU di Israel.
“Fasilitas dan keahlian ICU di Israel memang nomor satu di dunia. Sebab itu menjadi tujuan utama bagi pelatihan ICU di seluruh dunia, termasuk bagi dunia medis Indonesia, ” ujarnya.
Sang dokter juga menyatakan banyak peralatan ICU yang ada di rumah-rumah sakit besar di negeri ini dibeli dari Israel.
Selain dunia medis, eramuslim juga mendapatkan data bahwa TNI juga telah melakukan pembelian sejumlah senjata api jenis senapan sniper seperti Galil-Galatz keluaran Israeli Military Industries (IMI) beberapa tahun lalu. Kasus ini pernah mengemuka dan menjadi perdebatan publik beberapa waktu lalu namun isunya menguap begitu saja seiring berjalannya waktu.
Kenyataan-kenyataan ini sebenarnya aneh. Karena secara tegas dan jelas, Konstitusi Negara kita, UUD 1945, bersikap anti terhadap penjajahan dalam segala bentuk penindasan di muka bumi. Indonesia juga tidak pernah sudi membuka hubungan diplomatik dengan Israel, karena “Negara” itu berdiri di atas tanah milik bangsa Palestina.
Lantas, mengapa terjadi hubungan dagang seperti itu antara Indonesia dengan Zionis-Israel?
Jawabannya ada kala Abdurrahman Wahid masih menjabat sebagai Presiden RI. Kala itu di tahun 2001, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Pandjaitan meneken Surat Keputusan Menperindag No.23/MPP/01/2001 tertanggal 10 Januari 2001 yang melegalkan hubungan dagang antara RI dengan Zionis-Israel.
Walau mendapat reaksi keras dari rakyatnya, Abdurrahman Wahid tak bergeming. Ironisnya, hingga Abdurrahman Wahid terjungkal dari kursi kepresidenannya, dan digantikan oleh Megawati lalu sekarang Susilo Bambang Yudhoyono, SK kontroversial dan mengkhianati amanah konstitusi ini masih saja aman alias belum disentuh sedikit pun, apalagi dicabut. Padahal SK ini wajib dicabut.
Mudah-mudahan, wakil-wakil rakyat kita baik yang di pusat maupun daerah tergerak hatinya untuk sesegera mungkin memasukkan agenda pencabutan SK tersebut hingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, hubungan haram ini berakhir. (Rz)