Sedangkan alat penyerbu dimaksud antara lain meliputi media massa, narkoba, korupsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Untuk LSM, khususnya bagi LSM yang memiliki afiliasi ke asing patut diwaspadai. Adanya kucuran dana di satu sisi, dan prinsip no free lunch di sisi lain. Ya kendati tak sedikit LSM yang masih merah putih, nasionalisme, dan cinta tanah air. Itulah beberapa alat penyerbu kaum penjajah dari sisi hilir bahkan kerap menjadi metode atau “pintu masuk” kaum kolonial untuk membuat kegaduhan secara senyap di negeri ini.
Sekali lagi, hal-hal di atas cuma metode kolonialisme di sisi hilir semata. Sedang pintu masuk kolonialisme di hulu tidak dibahas dalam catatan ini, kecuali sedikit untuk menyambungkan narasi.
Dan menyaksikan praktik selama ini, hampir semua pintu masuk sepertinya terbuka lebar, berjalan mulus, dan lancar karena selain faktor euporia demokrasi tak kunjung reda, kemajuan teknologi informasi dan teknologi (IT), juga yang utama akibat merebaknya virus di publik apa yang disebut dengan istilah stockholm syndrome. Inti stockholm syndrome ialah: “Virus politik yang merebak pada suatu bangsa dimana menjadikan sikap mental bangsa terjajah justru jatuh cinta kepada kaum kolonial yang menghisap geoekonomi negerinya.”
Kembali ke alat penyerbu. Soal media massa contohnya, jangan heran bila banyak media massa tidak jujur (tak netral) mengabarkan fakta dan informasi. Selalu ada edit berita, counter dan framing media apabila terkait kepentingan “tuan”-nya. Bahkan ada semacam silent operation, selain guna mengecilkan peristiwa besar juga mengalihkan persoalan hulu bangsa menjadi isu-isu receh di hilir persoalan bangsa.
Pun demikian dengan maraknya narkoba dan korupsi di Indonesia. Inilah modus pelemahan bangsa. Narkoba adalah sarana termurah untuk merusak bangsa secara mental, sedang korupsi sarana merusak moral tetapi justru melalui sistem negara itu sendiri. Ya korupsi di Indonesia memang diciptakan oleh sistem itu sendiri yang justru melekat dalam konstitusi negara. Menempel di sistem politik Indonesia terutama dengan berlakunya multi partai, one man one vote, dan lain-lain.
Tidak heran jika beberapa LSM terutama yang berafiliasi keluar terkesan memperjuangkan KENARA (Kepentingan Negara Asing) bukan meneriakkan KENARI (Kepentingan Nasional RI). Retorikanya, “Apakah kita sadar?”