Di bagian dua tulisan ini, sejumlah pengamat dan peneliti mengakui adanya “persoalan” dibalik sistem kehidupan yang dibangun oleh Gereja Katolik dan bahwa pada awal perkembangan agama ini, Gereja Katolik bukanlah “klub laki-laki” yang tidak memberikan tempat bagi peran perempuan.
Gereja Katolik secara penuh melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan baru pada abad ke-12. Tahun 1139, Gereja Katolik menjadikan hidup membujang sebagai mandat, hal yang wajib dilakukan para lelaki yang mengabdi sebagai agamawan gereja dan sejak itu, universitas-universitas besar di Eropa, dimana para intelektual Krsten mulai membangun dasar-dasar berbagai ilmu modern; filsafat, matematika, astronomi, sains, sastra dan teologi, sama sekali melarang ketelibatan kaum perempuan.
Sejarawan di Universitas Illinois, Chicago, Kevin Schultz menyatakan bahwa Roma sangat menentang prinsip inividualisme yang menjadi pemicu revolusi Prancis dan revolusi Amerika.
Para intelektual Katolik menghidupkan kembali ide-ide Thomas Aquinas, khususnya, ide Aquinas tentang pentingnya mengutamakan masyarakat diatas kepentingan pribadi. Schultz mengatakan, esensi dari ide sebenarnya adalah bentuk “penentangan gereja atas apa yang gereja anggap sebagai modernitas”.
“Ide menciptakan konsep ‘kita melawan mereka’ dan hal itu menjadi sebuah rahasia. Para Paus menjadi sangat berkuasa,” kata Schultz.
Sampai hari ini, tidak ada penjelasan yang lebih baik tentang ketiadaan keterkaitan antara orang-orang penting di sekeliling Paus dengan keyakinan progresif yang muncul di lingkungan gereja Katolik. Dunia ini, lebih dari sekedar urusan pribadi, dengan prinsip moralitas yang kaku, kadang moralitas itu terlihat ‘cerdas’ kadang hanya karena didorong oleh hawa nafsu manusia.
Konsep gereja yang seperti ini, menunjukkan bagaimana gereja di satu sisi membantu orang-orang yang sakit dan kelaparan dan pada saat yang sama juga menolak penggunaan kondom bagi mereka yang beresiko terkena penyakit AIDS dan menjelaskan bagaimana institusi gereja mengklaim berkomitmen terhadap kehidupan keluarga, di sisi lain menolak pil KB bagi para ibu, dan tentu saja konsep gereja itu bisa menjelaskan bagaimana seorang uskup memilih tidak melaporkan ke polisi meski mengetahui adanya kasus-kasus pedofiia di gereja.
Terobosan untuk lebih “memodern”kan sikap gereja Katolik yang cenderung picik, pernah dilakukan oleh Paus ke-13. “Saya ingin membuka jendela-jendela gereja sehingga kita bisa melihat dunia luar dan dunia bisa melihat kita,” katanya ketika itu. Dan mungkin, yang pertama dan yang lebih mudah dilakukan untuk pembaharuan gereja adalah dimulai dengan kaum perempuan.
Lebih dari 60 persen penganut Katolik Amerika mendukung wacana perempuan boleh menjadi uskup. Apalagi di AS, minat orang untuk menjadi agamawan makin menurun dan ada fakta bahwa 80 persen departemen-departemen di dalam institusi gereja dipimpin oleh perempuan, tak bisa dipungkiri akan adanya kebutuhan uskup perempuan.
“Yesus tidak pernah mengatakan bahwa hanya laki-laki yang boleh menjadi uskup atau pendeta,” kata Eileen McCafferty DiFranco, satu dari sedikit perempuan yang sudah ditahbiskan sebagai pendeta.
Laporan hasil penelitian McChesney dan timnya mengklaim kasus-kasus penyimpangan seksual dalam keuskupan di AS sudah menurun. Sekarang, di AS, setiap keuskupan harus membentuk sebuah tim penasehat untuk menangani kasus-kasus semacam itu.
Tim tersebut beranggotakan orang-orang profesional dan secara memiliki kepedulian atas isu-isu kesejahteraan bagi anak-anak. McChesney meyakini, tim penasehat semacam ini harus ada di seluruh keuskupan di dunia, termasuk di Vatikan dan lebih baik lagi jika kaum perempuan ikut dilibatkan.
“Paus Benediktus perlu membentuk tim yang anggotanya buka cuma para agamawan. Dia membutuhkan tim penasehat yang terdiri dari orang-orang yang ahli dalam masalah pelecehan seksual pada anak-anak, ahli dalam melakukan penyelidikan dan memberikan pemecahan atas persoalan yang terjadi. Paus perlu melibatkan para profesional dan jika mereka adalah kaum perempuan, itu lebih baik,” tandas McChesney.
Para ahli, diantaranya Kerry Robinson, kerap mempertanyakan mengapa peran perempuan bahkan yang tercantum dalam kitab suci, tidak ditonjolkan oleh gereja, bahkan sengaja dihilangkan.
Selama bertahun-tahun menjalankan misi “pembaruan” gereja Katolik dan bertemu dengan para pejabat Vatikan, Robinson mengamati bahwa kisah-kisah dengan tokoh perempuan di dalam kitab Injil dan Perjanjian Lama, perlahan-lahan dihilangkan dan tidak pernah disampaikan dalam khutbah misa setiap hari minggu.
“Cerita yang disampaikan selalu tentang kaum lelaki. Setiap khutbah, dalam setiap misa hari minggu, mereka tidak pernah memberikan perspektif dari sisi seorang perempuan,” kata Robinson.
Sosok Bunda Maria tak lagi sakral bagi “klub laki-laki” gereja Katolik. Sikap gereja yang tidak pernah menceritakan peran kaum perempuan yang ada dalam alkitab, membuat para ibu, anak-anak perempuan melihat diri mereka buka sebagai bagian dari Yesus, jadi jangan heran jika para ibu (kaum perempuan) meninggalkan agamanya (gereja) dengan membawa serta anak-anak perempuan mereka. (ln/NW-Tamat)