Fast forward. Masyarakat kita sekarang juga terbelah. Kondisinya mirip dengan warga Jayakarta dan Batavia di penghujung abad ke-19 lalu. Ada yang mati-matian percaya dan yakin dengan pendapatnya, bahkan saking cintanya, mendewa-dewakan orang yang mereka puja bagaikan tuhan.
Mereka berpegangan kepada berita-berita dari media-media besar yang notabene menjadi corong propaganda kekuatan modal yang besar dibelakangnya, yang ingin melestarikan dan semakin menjajah negeri ini seperti halnya Belanda di zaman dahulu. Dan uniknya, mereka ini juga jauh dari masjid dan tuntunan para ustadz, kiai, dan ulama. Mereka termasuk kaum abangan yang tidak pernah peduli dengan agamanya. Sama persis seperti di zaman Schout Van Hinne.
Sedangkan kelompok masyarakat yang kritis sekarang ini, juga dekat dengan masjid dan para ulama. Mereka tidak mudah dibohongi propaganda media besar dan bukan termasuk “Generasi Micin” atau “Generasi Sinetron”. Sebab itu kesadaran mereka tetap terjaga dengan baik dan bisa dengan jernih melihat benar atau salah dalam suatu peristiwa.
Bagaimana dengan kelompok sekarang yang notabene katanya juga kelompok islamis, dekat dengan masjid, dan juga para ulamanya, namun dalam sikap dan tindakan malah nyinyir terhadap Islam, bahkan tega-teganya membubarkan pengajian?
Di zaman Schout Van Hinne juga ada yang seperti ini. Namanya Haji Syamsuddin. Ini haji pendatang, bukan warga asli Jayakarta, yang memiliki kekayaan banyak hasil dari usahanya yang banyak menyusahkan rakyat. Syamsuddin, walau bergelar haji, namun dia menjadi sekutu bagi Tuan Tanah Cina dan penjajah Belanda.
Haji Syamsudin punya rumah besar di Marunda, punya usaha penyewaan kapal, punya peternakan berbagai macam hewan termasuk kuda, dan rumahnya dijaga oleh tukang-tukang pukul yang digajinya.
Suatu hari, ketujuh pendekar Pitung yang menyamar sebagai rombongan Demang Bekasi mendatangi rumah Haji Syamsudin. Dengan tipu muslihat, Pitung berhasil memperdaya Haji Syamsuddin dan membawa semua harta bendanya, yang kemudian dibagikan oleh Pitung kepada rakyat jelata yang ditemuinya di sepanjang jalan sampai habis.
Harta benda Haji Syamsuddin berasal dari pemerasan yang dilakukannya terhadap rakyat kecil, oleh Pitung harta itu dikembalikan kepada rakyat kecil lagi. Akhirnya Haji Syamsuddin sadar dan malah bergabung dengan gerakan Pitung. Rumah Haji Syamsuddin tersebut sekarang ini kadung disebut sebagai Rumah Pitung di Marunda, padahal itu bukan rumah ketujuh pendekar Pitung.
Histoire se repete. Sejarah selalu berulang. Dan hari ini kita menyaksikan pengulangan sejarah. Siapa tahu, kelompok IQ 200 Sekolam yang ada sekarang adalah anak cucu daripada kaum pribumi yang dulu juga memusuhi pendekar-ulama Pitung dan para ulama yang mendukungnya? Siapa tahu. Apalagi Habib Rizieq, tokoh sentral yang mereka musuhi ini memang keturunan Pitung. [rd]
Baca: Habib Rizieq Keturunan Pitung