Kedua, tidak benar bahwa gelar haji baru dipakai sejak tahun 1916. Bahkan, pernyataan ini menunjukkan keteledoran sejarah yang fatal. Berbagai fakta yang jumlahnya tidak terhitung banyak sekali yang menunjukkan bahwa gelar “haji” sudah dipakai sejak lama di Indonesia bahkan sejak sebelum Zaman Kolonial. Salah satunya yang dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013: 33-34). Ia menyebut bahwa pada tahun 1674, anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten naik haji. Ia merupakan anak raja di Jawa yang pertama kali naik haji. Sepulang dari Mekah tahun 1675, ia kemudian disebut sebagai “Sultan Haji”. Sebelumnya, beberapa bangsawan Banten sudah berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651. Sepulang dari Mekah, mereka menyematkan gelar “haji” di depan namanya, yaitu Haji Jayasantana dan Haji Wangsaraja, lalu Haji Fatah. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar “haji” sudah populer di Indonesia, dan sama sekali bukan buatan Belanda. Bila pada abad ke-17 saja gelar “haji” sudah populer, apalagi abad-abad selanjutnya. Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun 1911, pendirinya sudah populer disebut “haji”, yaitu Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Ketiga, mengenai gelar haji ini justru sikap Belanda malah ingin menghapuskannya, hanya saja mereka tidak sanggup melakukan itu. Hal ini terlihat jelas dari Ordonansi Haji tahun 1859. Salah satu ketentuan dalam ordonansi ini adalah bahwa sepulang dari Mekah mereka harus menempuh ujian mengenai masalah Mekah dan Islam. Hanya apabila mereka lulus ujian ini, barulah mereka dianggap berhak untuk mempergunakan gelar haji di depan nama mereka. Ujian ini maksudnya untuk mengurangi pengaruh orang-orang haji yang tidak disenangi pemerintah terhadap masyarakat. Sebab, di masyarakat umum, mereka yang pernah pergi haji dan menggunakan gelar haji mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi dari masyarakat. Agar mereka tidak berpengaruh lagi; atau minimal dapat mengurangi pengaruh mereka, maka penggunaan gelar “haji” justu ingin dihilangkan oleh Belanda. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1993: 32).