Sayang sekali, cerita semacam ini pada era media sosial yang amat cepat memassifkan informasi hanya dari sumber tunggal segera menjalar ke mana. Bahkan, kekuatan ceritanya semakin diperkuat manakala website milik ormas besar ikut menyebarkannya. Sebut saja contohnya dalam “Asal-Usul Gelar Haji” yang dimuat di nu.or.id.
Dalam situs ini dikutip pendapat Agus Sunyoto yang menyebut adanya “Ordonansi Haji” tahun 1916 yang mewajibkan penggunaan gelar haji untuk mengawasi para haji, karena umumnya sering menjadi pemimpin perlawanan di Indonesia. Pendapat ini kemudian di-copy paste oleh situs-situs yang lain dan menyebar secara massif ke mana-mana sehingga dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Kelemahan pertama pendapat di atas adalah mengutip “Ordonansi Haji 1916”. Persoalannya bukan pada pengutipan atau penyebutan, melainkan pada keberadaan ordonansinya itu sendiri. Sepanjang periode Hindia Belanda (1800-1942) peraturan (ordonansi) mengenai haji terbit pada tahun 1825 tentang pembatasan kuota jamaah haji, 1859 tentang aturan pelaksanaan haji, dan 1922 yang berisi aturan tentang pelayanan haji yang lebih baik. Tidak ditemukan sama sekali ada ordonansi haji tahun 1916. Kalaupun ada bukan ordonansi, melainkan pelarangan menunaikan ibadah haji oleh pemerintah terkait tengah belangsungnya Perang Dunia I yang dikeluarkan sejak tahun 1915, walaupun dalam praktiknya jamaah haji Indonesia tetap banyak yang berangkat meski jumlahnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Pelarangan ini juga tidak ada kaitan dengan masalah ideologis atau gelar, melainkan terkait masalah keamanan perjalanan haji. (lihat: Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, 2007: 170-173; Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 1996: 92-98).