Eramuslim.com – Akhir 1948, pasukan bersenjata Ikhwanul Muslimin (IM) memukul mundur pasukan Zionis-Israel dari Palestina. Ini membuat Zionis dan negara Barat kalang kabut dan mendesak PBB mengeluarkan resolusi gencatan senjata selama tiga pekan. Tentu saja, langkah PBB ini merupakan bentuk dukungan lembaga internasional tersebut kepada Zionis. Secara diam-diam, Zionis-Israel pun bisa kembali menyusun kekuatan dan menyiapkan persenjataan yang lebih lengkap. Dalam pertempuran selanjutnya, tentara Zionis yang sudah kembali kuat berhasil memukul mundur milisi IM yang berasal dari Mesir, Yordania, Iraq, dan sejumlah negara Arab dengan persenjtaan yang seadanya.
Tak lama setibanya di Mesir, penguasa negeri Sphinx tersebut malah menjadikan IM sebagai organisasi terlarang dan membubarkannya. Ulama-ulamanya dikriminalisasi, para ustadz dan khotib Jum’at dilarang untuk berceramah menyinggung-nyinggung politik dan kekuasaan. Rezim Mesir memecah-belah ulama, yang mau tunduk pada keinginan penguasa dan bersikap lembek terhadap kemungkaran dibina dan dijadikan ulama-ulama besar, sedangkan para ulama yang meniti jalan Rasul SAW, yang sungguh-sungguh membela Islam, ditangkapi dan dipenjarakan. Selain melarang organisasi induknya, pemerintah Mesir juga membekukan semua organisasi sosial dan amal IM. Para Ikhwan yang bersikap kritis dan melawan, langsung ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan teroris atau makar.
Aktivis Islam akhirnya tiarap. Tak banyak yang bisa diperbuat. Tiba-tiba pemerintah Mesir menawarkan perundingan di Kantor Syubaanul Muslimin. Dengan niat baik demi tetap berlangsungnya dakwah, Hasan Al-Banna ditemani ustadz Abdul Karim, Ipar laki-laki sekaligus pendamping setianya, pergi ke tempat tersebut. Tiba di kantor Syubaanul Muslimin, keduanya duduk menunggu. Namun setelah menunggu sekian lama, utusan dari pemerintah tak kunjung datang, bahkan hingga hari malam. Hasan Al-Banna dan yang lainnya menjalankan sholat Isya di kantor tersebut. Selesai sholat beliau duduk menunggu sebentar, namun yang diharapkan ternyata tak datang juga.
Akhirnya, Hasan Al-Banna menganggap memang tidak ada niat baik dari pemerintah. Beliau kemudian menyuruh Muhammad Laitsi untuk memanggil taksi untuk pulang. Pukul 08.15 waktu Kairo, Hasan Al-Banna bersama Abdul Karim keluar kantor tersebut. Jalan raya sudah gelap dan sepi. Mereka masuk ke sebuah taksi. Hasan Al-Banna masuk di belakang dan Ustadz Abdul Karim duduk di sebelah kanannya. Namun, beliau bangkit meminta untuk pindah tempat duduk. akhirnya, Hasan Al-Banna duduk di kanan dan ustadz Abdul Karim di kiri.