Konteks di mana perang ekonomi saat ini terjadi antara AS dan Cina dan pada tingkat lebih rendah antara AS dan Rusia patut dicermati oleh semua pihak, terutama oleh pemerintah di seluruh dunia. Perang ekonomi ini memasuki fase baru dengan serangan Wuhan.
Bertolak dari serangan Wuhan pula, otoritas Eropa dan AS memerintahkan berbagai tingkat penguncian (lockdown) dan perjalanan internasional, bahkan di dalam UE sendiri, terhenti secara virtual. Maskapai, hotel, dan sektor perjalanan lainnya praktis tidak beroperasi sebagaimana biasanya. Sektor transportasi juga sangat terbatas. Ekonomi sehari-hari kian sulit akibat kebijakan lockdown tersebut.
Apa manfaat dari lockdown di Barat ini? Penulis mencermati bahwa virus korona begitu mengejutkan perekonomian secara keseluruhan di banyak negara. Apakah kita harus percaya bahwa itu hanya pengawasan dari pihak pemerintah untuk merenungkan kontingensi terhadap epidemi tetapi tidak untuk ekonomi? Namun, apa yang benar-benar sangat penting mereka yang punya kendali atas pemerintahannya adalah uang dan tentu saja kekuatan yang menyertainya.
Adapun konsekuensi langsung dari penguncian (lockdown) dalam hal ekonomi, diantaranya adalah:
1. Adanya pembatasan perjalanan terhadap mereka yang umumnya aktif dan punya mobilitas tinggi (setidaknya di UE)
2. Adanya pembatasan yang berpotensi melumpuhkan sektor UKM secara signifikan
3. Adanya obstruksi transaksi rantai pasokan, tidak terkecuali dengan Cina
4. Adanya peningkatan pengangguran yang sangat signifikan
5. Kenaikan harga yang tak terelakkan, apakah kelangkaan diinduksi atau karena tambahan biaya “keamanan”
6. Terciptanya potensi lapisan korupsi dan lalu lintas selundupan yang tidak hanya akan menaikkan harga kehidupan sehari-hari tetapi juga mengkriminalkannya.
Pada saat yang sama kami telah mendengar lebih dari beberapa laporan tentang Quantitative Easing (QE) baru alias memberikan triliunan kepada bank.
Quantitative Easing merupakan kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral untuk meningkatkan jumlah uang beredar guna meningkatkan perekonomian dengan cara membeli aset-aset jangka panjang berupa surat-surat berharga pemerintah maupun bank komersial. Kebijakan moneter ini diambil untuk menciptakan inflasi sehingga mampu mencegah risiko deflasi.
Pada kebijakan moneter Quantitative Easing, bank sentral meningkatkan jumlah uang beredar di pasar dan mendorong bank-bank komersial agar bersedia menggelontorkan pinjaman atau kredit baik usaha maupun konsumtif kepada perusahaan dan juga masyarakat.
Kebijakan Quantitative Easing itu diambil karena adanya potensi kelesuan dan krisis ekonomi. Di saat perekonomian krisis, bisnis di beberapa sektor lesu, angka pengangguran tinggi, tingkat permintaan rendah, dan pastinya tingkat pendapatan masyarakat rendah. Dengan kebijakan Quantitative Easing, jumlah uang yang beredar di masyarakat semakin bertambah diikuti dengan penurunan tingkat suku bunga jangka pendek pada level mendekati 0%. Tujuannya, masyarakat bahkan perusahaan terdorong untuk mengajukan pinjaman jangka pendek dengan bunga rendah tersebut.
Pemberian pinjaman kepada perusahaan dan masyarakat tersebut ‘diharapkan’ mampu mendorong tingkat pengeluaran atau konsumsi yang tinggi. Jika hal ini terjadi, artinya tingkat permintaan atau belanja masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan juga semakin tinggi. Adanya permintaan yang tinggi, kegiatan produksi kembali dipacu agar mampu memenuhi permintaan tersebut.
Dengan demikian, perekonomian mulai menggeliat dan melaju menuju stabilitas yang diharapkan. Namun persoalannya, tidak semua negara-negara di dunia yang berhasil mengambil kebijakan Quantitative Easing, bahkan justru malah menyeret negara tersebut ke jurang utang yang lebih dalam.(end)
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute
Sumber: GlobalReview