Kemudian Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, melalui Supersemar, 1966. Banyak orang berharap, setelah Soekarno jatuh dan dominasi PKI di hancurkan, dapat dilakukan reformasi hukum dan politik secara total. Tetapi harapan itu tidak pernah terwujud, hingga ia lengser dari kekuasaan, 21 Mei 1998 lalu. Indonesia di masa orde baru, bukan saja otoriter, tetapi hampir seluruh lembaga pemerintahan penuh dengan perdukunan, takhayul dan mistik. Kebijakan pemerintahannya, banyak dipengaruhi oleh rekayasa paranormal.
Berbeda dengan Bung karno, Soeharto malah mengembangkan idiologi yang merupakan ramuan dari jiwa Nasionalisme dan paganisme. Maka jelas terlihat, prestasi paling spektakuler rezim Soeharto, adalah keberhasilannya menjadikan idiologi Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di zaman Soehartolah idiologisasi Pancasila mulai dikem-bangkan melalui penataran P4 (Pedoman Peng-hayatan dan Pengamalan Pancasila), dan menjadikannya sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, Soeharto telah memposisikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Sejak awal berkuasa,1966, Soeharto dan kemudian GOLKAR yang menjadi kendaraan politiknya, mengusulkan paket undang undang politik, yang salah satu diktumnya menyatakan, bahwa parpol dan ormas harus berasaskan idiologi Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi usulan ini mendapat tantangan keras dari ummat Islam, sehingga baru pada 1982 usulan tersebut menjadi kenyataan.
Untuk hal ini, Soeharto pernah dengan bangga mengatakan di depan sidang paripurna DPR, 16 Agustus 1987 : ”Dengan lega hati kita dapat mengatakan, di bidang idiologi dan politik, kita telah berhasil meletakkan kerangka landasan yang kita perlukan. Sejarah kelak akan membuktikan juga ketidakbenaran anggapan bahwa ABRI tidak akan dapat mendorong pertumbuhan demokrasi” . Mengenai idiologi, Soeharto berkata: ”Kalau para pemuda mempelajari idiologi selain Pancasila, serta idiologi-idiologi keagamaan, maka mereka akan menyadari kekurangan-kekurangan idiologi tersebut; dan akan lebih percaya terhadap kebenaran Pancasila” .
Dalam upaya melestarikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka cukup menarik mendengarkan pernyataan yang disampaikan oleh seorang pejabat tinggi keamanan di hadapan pimpinan parpol dan ormas, tentang tekadnya untuk menghancurkan “Ekstrimis Muslim” benar-benar mencerminkan dendam militer yang tiada habisnya terhadap kaum muslimin. Dengan topik Situasi Keamanan Menjelang Pemilu 1987, Kasrem 072 Pamungkas, Yogyakarta, Letkol. Rudy Sukarno mengatakan: ”Khusus masalah subversi dirasa perlu untuk dihancurkan. Sebab bila tidak dihancurkan akan muncul visi-visi sebagai pemberontakan. Maka lebih baik dicegah dulu dengan memberantas subversi ini. Pembangunan sekarang harus berhasil. Kalau gagal, justru akan memberi peluang kepada kaum subversi untuk menyebarkan pendapat, bahwa idiologi Pancasila gagaldan tidak mampu mensukseskan pembangunan. Demikian pula halnya, bila terjadi kericuhan politik, yang dapat diman-faatkan oleh oknum subversi untuk menyebar opini bahwasanya politik Pancasila juga gagal mengatasi situasi politik” .(8)
Dalam hubungan ini, agak mengherankan seruan dari Mahkamah Agung, Ali Said, SH kepada seluruh pengadilan di Indonesia. Ia mengatakan: ”Fenomena subversi, korupsi dan narkotika semakin meningkat. Hakim-hakim yang menangani kasus-kasus tersebut harus mampu melaksanakan langkah-langkah preventif secara refresif” . Semua ini merupakan bukti nyata, betapa gigihnya mereka mempertahankan sikap refresif tentara, dalam menjalankan roda kekuasaan.
Ketika pengadilan yang menangani kasus subversi, tahun 85-an, berubah menjadi lembaga penghukuman. Dan ketika menyaksikan ketidakberesan pengadilan dan kezaliman rezim orba terhadap para tahanan politik, sungguh tepat ucapan Letjen. HR. Dharsono, mantan Pangdam Siliwangi yang dipenjarakan dengan tuduhan subversi.
Ketika kasusnya disidangkan, dan tiba saatnya membacakan pledoi, terdakwa Dharsono tampil dengan pledoi berjudul: Menuntut Janji Orba, dan mengatakan: ”Sejarah telah mencatat bahwa, dalam pengadilan seperti ini, terdakwa tidak pernah bebas atau menang, justru sebaliknya, sebagai forum menyingkiran lawan-lawan politik” .
Dalam pledoinya, Dharsono memfokuskan kritiknya kepada dua hal, yaitu pengasas tunggalan Pancasila dan dwifungsi ABRI. Mengenai asas tunggal Dharsono mengatakan: ”Pengasas tung-galan Pancasila dan sistem pemilihan anggota DPR/MPR selama ini tidak sesuai dengan UUD 45” . “Pancasila tidak bisa berjalan sendiri dan diasas tunggalkan” , ujarnya. Muatan Pancasila terletak pada pengakuannya akan kebhinekaan. Kemudian Dharsono mempertanyakan relevansi dari dwifungsi ABRI.
“Dwifungsi ABRI harus dipahami secara kontekstual. Sebab ia bukanlah doktrin yang kaku dan mati, yang bisa diberlakukan sepanjang zaman, tanpa melihat ruang sejarah ketika rumusan-rumusan itu dicetuskan. Dengan alasan apapun, tidaklah bisa dibenarkan wujud implementasi dwifungsi ABRI seperti yang ada sekarang ini” , katanya tegas.(9)
Seakan menjawab kritik Dharsono, dalam suatu pidatonya Soeharto mengingatkan dengan kata-katanya: “ABRI mempunyai dwifungsi, yakni sebagai kekuatan politik dan pertahanan keamanan. Sebagai fungsi sospol, Soeharto menunjuk, telah ditetapkan MPR. Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat merobah hakekat ABRI yang mempunyai dwifungsi tersebut” . Sebuah koran daerah, menurunkan berita di bawah judul: Usaha Untuk Mengurangi Kepercayaan Terhadap Mandataris MPR, mengenai kritik terhadap kinerja MPR. Dalam hal ini, ketua MPR Amir Mahmud mengatakan: ”Isu yang mendeskreditkan orde baru terutama datang dari paham atau aliran komunisme, Liberalisme dan Theokratisme ala DI/TII. Paham yang tak cocok dengan alam Pancasila itu bertujuan menghambat rencana tinggal landas yang telah menjadi strategi orde baru” . (KR, 9 Juli 1986).
Musuh-Musuh Orde Baru
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, ia banyak dihujat oleh rakyat, yang membuatnya amat murka. Dan yang paling membuatnya jengkel, adalah sikap LSM yang dinilai telah memburukburukkan citra Indonesia di luar negeri. Kemudian munculnya tulisan David Jenkin, wartawan Australia dalam The Sidney Morning Herald, berkisar tentang korupsi dan kekayaan Soeharto, yang dipandang sebagai pendeskreditan nama Kepala Negara oleh pers asing, berdasarkan informasi dari orang Indonesia. Terhadap tuduhan ini Soeharto menjawab cerdik: ”Berbagai isu yang dikarang oleh orang asing maupun Indonesia untuk mendeskreditkan saya, sama sekali tidak benar. Saya dan istri saya tidak berdagang sebagaimana yang diisukan mereka. Benar, sebagai kepala negara kami men-dapat sumbangan dari berbagai pihak. Dan sebagai pimpinan negara sumbangan itu diterima, kemu-dian dikelola oleh yayasan yang dibentuk oleh jend. purnawirawan Soeharto, guna membantu yatim piatu, janda yang suaminya gugur dalam per-tempuran Trikora-Dwikora, Timtim serta membangun tempat ibadah” .
Bukan hanya Soeharto yang marah ketika berhadapan dengan kritik yang memojokkan dirinya. Leonardus Benny Moerdani, sebagai Pangab ketika itu, dengan sinis menyampaikan kecamannya: ”Kalau ada orang yang mengeluarkan ide untuk membatasi wewenang Presiden, mengungkit-ungkit serangan Fajar di Yogyakarta, hak asasi, korupsi dan ling-kungan yang dirusak. Saya rasa ini dilakukan oleh orang yang kurang kerjaan. Atau, mungkin ingin cepat populer. Tulisan atau isu yang mendeskredit-kan Presiden RI, selain tidak benar, juga dilansir secara sentral, tetapi melaui mulut orang lain yang dipakai. Siapa mereka? Pelaku-pelakunya sudah tahulah, orang-orang yang tidak senang pada kita orba. Ya PKI, ya orang-orang yang tidak senang pada orde baru” .
Siapakah musuh orba? Mereka itu, katanya, adalah ekstrim kiri atau kanan, yakni mereka yang menentang sistem calon tunggal dalam memilih presiden dan tidak setuju asas tunggal. Mereka inilah yang tergolong musuh negara. Maka mulailah pemerintah membungkam suara rakyat, dan menetapkan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, dianggap merong-rong kewibawaan pemerintah, dan dapat diper-salahkan melanggar UU No. 11 PNPS/ 63, mengenai UU pemberantasan suversi. Di antara hal-hal yang tidak boleh dikritik adalah, masalah Pancasila, lembaga kepresidenan, dwifungsi ABRI dan kekayaan presiden beserta kroni-kroninya.
Dalam suatu pertemuan dengan para perwira pembantunya, Soeharto mengungkapkan kekesalan hatinya, melihat perkembangan situasi yang berani mempertanyakan posisi dirinya, kemungkinan suksesi dan sebagainya.Untuk itu ia memerintahkan menteri Dalam Negeri, Rudini untuk menertibkan pengeritik-pengeritik itu. Beberapa lama setelah perintah diterima, agaknya Rudini belum berbuat apa-apa, maka Soeharto memerintahkan Pangab Jend. Try Sutrisno untuk mengambil tindakan tegas. Tapi Rudini, akhirnya memanggil beberapa pimpinan LSM.
Cara pemerintah menangani pengeritiknya, membuat jengkel mahasiswa. Maka dalam suatu perhelatan di kampus ITB, Rudini diundang untuk membuka penataran P4. Itu terjadi pada tanggal 5 Agustus 1989. Kedatangan Rudini, rupanya tidak dikehendaki mahasiswa yang, menurut mereka ITB hanya dijadikan obyek kompetisi mencari kredit poin bagi para menteri. Terjadilah
demonstrasi. Dan tercatat di sini, menteri-menteri yang pernah didemo mahasiswa ITB antara lain: Adam Malik, Abdul Ghafur dilempari telur busuk dan kotoran kerbau, Cosmas Batubara, Nugroho Notosusanto dan Fuad Hasan. Dan kali ini, Rudini yang didemo mahasiswa. Di luar gedung pertemuan bermunculan poster. Antara lain berbunyi: Ganyang antek-antek penindas, jangan racuni putera-putera terbaik Indonesia dengan P4. Rudini penipu rakyat, dibodohi gubernur Yogi S. Memet, dan Yogi dibodohi walikota Ateng.
Semua yang dipaparkan di atas adalah fakta dan data. Hal ini sengaja dilakukan dengan maksud mengungkapkan sejarah Pancasila dan akibat-akibat penerapan serta dampak negatifnya bagi perkembangan demokrasi dan pertumbuhan keadilan.
Doktrin Zionisme dan Pancasila
Elastisitas idiologi Pancasila, telah memunculkan persoalan dilematis dalam tafsir dan aplikasinya. Orientasinya, mau kemana, juga tidak jelas. Sebagai idiologi dan dasar negara, tanpa adanya kitab rujukan yang jelas dan baku, men-dorong setiap penguasa di Indonesia, bebas menaf-sirkan dasar negara ini menurut seleranya masingmasing, sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk bertindak
diktator dan berbuat zalim tanpa merasa bersalah. Dan itulah yang selama ini terjadi. Menyaksikan berbagai dampak negatif akibat penerapan Pancasila, dan munculnya kekacauan pemahaman terhadap Pancasila itu sendiri, mengundang beragam pertanyaan. Benarkah Pancasila merupakan produk dalam negeri, atau made in Indonesia, sebagaimana dipahami banyak orang selama ini?
Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno mengakui banyak terpengaruh pemikiran dari luar, seperti Dr. Sun Yat Sen dan A. Baars, seorang sosialis Belanda, dalam merumuskan dasar-dasar idiologi kebang-saannya? Oleh karena itu, adakah kaitan historis dan idiologis antara doktrin Zionisme dengan Pancasila?
Ternyata masih banyak misteri dalam Pancasila yang perlu diungkapkan secara
terbuka dan terus terang oleh para ahli di bidang ini. Buku berjudul: DOKTRIN ZIONISME DAN IDIOLOGI PANCASILA: Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Father Republik Indonesia, yang sekarang berada di hadapan pembaca ini, memang dimaksudkan untuk mengungkap sejarah Pancasila dan penerapannya di Indonesia. Dalam iklim di mana euphoria reformasi sedang dikumandangkan gegap gempita, kehadiran buku ini menjadi hal yang amat penting. Selain alasan-alasan politis dan sosial, buku yang merupakan kompilasi dari berbagai karya tulis, yang validitas dan keshahihannya tidak perlu
diragukan ini, juga diharapkan dapat menjadi motivasi untuk mengungkapkan berbagai misteri Pancasila.
Setelah menyaksikan secara gamblang, prilaku politik penguasa orla dan orba dalam menerapkan idiologi Pancasila, tidak bisa tidak muncul berbagai per-tanyaan, guna mengungkapkan lebih jauh. Misalnya: Mengapa Soekarno dan Soeharto mengesampingkan Piagam Jakarta, yang merupakan ikatan moral bangsa Indonesia, dan diputuskan melalui sidang PPKI (Panitya Persiapan Kemer-dekaan Indonesia) berbulan-bulan lamanya? Me-ngapa Soekarno menerima kaum mulhid, PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam wadah negara Pancasila, padahal dia sendiri seorang muslim, bahkan pernah diangkat sebagai Waliyul Amri ad-Dharuri bis Syaukah, dan pada waktu yang sama membubarkan partai Islam Masyumi?
Pertanyaan yang tidak kalah menarik untuk diajukan. Mengapa Soeharto merehabilitasi tapol PKI, tetapi bersikap diskriminatif terhadap tapol muslim? Dan mengapa aliran kepercayaan ditumbuh suburkan di zaman orde baru, sementara di sisi lain Soeharto mengadu domba antar umat beragama? Urgensi dari pertanyaan di atas, dan sekaligus urgensi dari penerbitan buku ini, menjadi semakin penting, apabila kita mengkaitkannya dengan agenda reformasi yang menjadi tuntutan rakyat sekarang ini. Bahwa rakyat menuntut lahirnya pemerintahaan yang bersih dari segala unsur KKN (Korupsi, kolusi dan Nepotisme), mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, melakukan aman-demen terhadap UUD 1945 dan menghapuskan dwifungsi ABRI. (bersambung)
(8) Rasionalisme militer, seperti ditulis Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya: Kerangka Idiologi Islam, lebih cenderung kepada keangkuhan, absolutisme, otokrasi, kekerasan dan ketergesaan dalam mengeluarkan keputusan, meski masih dalam proses, tanpa mendengarkan pendapat orang yang berpengalaman. Dan ini membuatnya menyandarkan diri pada kekuatan tentara, dan infra struktur intelegensi. Di samping itu, mereka sendiri khawatir akan ambisi serta gejolak kekuatan yang ia jadikan sandarannya itu. Oleh karena itu, ia membujuk dan menutupi kesalahan dan penyelewengannya. Termasuk dengan memenuhi setiap permohonan mereka berupa penghasilan dan kedudukan, dengan cara “suapi mulut, pejamkan mata”.
(9) Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam, Tim Peduli Tapol Amnesty Internasional, hal. 177, Wihdah Press, Cetakan IV, 20 Oktober 1998.
**
Sumber: Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: "Menguak Tabir Pemikiran Founding Fathers RI. Editor: Muhamad Thalib dan Irfan Awwas". Penyusun: Rinaldi.