“Ini membuatku bertanya-tanya apakah di kamp itu masih ada pejuang-pejuang Palestina?” tanya Dokter Ang keheranan karena ia tahu betul bahwa tidak ada seorang pejuang Palestina pun yang masih ada di kamp.
Ketika hari mulai siang, Dokter Ang kedatangan banyak sekali perempuan-perempuan Palestina yang terluka tembak. Dari mereka Doker Ang mengetahui jika tentara Israel mengawal anggota-anggota milisi Kristen Phalangis untuk membantai orang-orang Palestina di kamp Sabra-Shatila.
Dalam bukunya, Dokter Ang yang menjadi salah satu saksi mata tragedi pembantaian kamp Sabra-Shatila menulis, “Tentara-tentara Israel dan sekutunya itu merangsek ke rumah-rumah dan gang-gang kecil sambil menembakkan senjata mereka dengan royal. Granat dan dinamit mereka lemparkan ke jendela-jendela rumah yang penuh berisi orang. Para perempuan banyak yang diperkosa sebelum dibunuh. Para bayi Palestina diremukkan tulang-tulang dan kepalanya sebelum dibunuh. Banyak anak-anak kecil dilempar ke dalam api yang menyala-nyala, yang lain tangan dan kakinya dipatahkan oleh popor senjata. Untuk pertama kalinya, aku menangis di sini. ”
Sejarah mencatat, pembantaian Sabra Shatila merupakan genosida paling berdarah. Hanya dalam waktu tiga hari, tidak kurang dari 3. 297 orang Palestina—kebanyakan para perempuan dan anak kecil, bahkan bayi-bayi—menemui ajal dengan cara yang amat mengerikan. Anehnya, PBB dan dunia internasional tidak mengecam tragedi besar ini. Media Barat pun banyak yang berupaya menutup-nutupi fakta yang terjadi.
Doktrin Rasisme Talmud
Yang jadi pertanyaan: Mengapa orang-orang Israel itu mampu melakukan kesadisan dan kebiadaban yang amat mengerikan terhadap orang Palestina yang sama sekali tidak berdaya apa-apa.
Jawabannya diberikan sejarawan Illan Pappe, seorang Yahudi yang menyandang julukan “Orang Israel yang paling dibenci di Israel”.
Pappe adalah salah satu sejarawan Yahudi yang memilih memihak pada hati nurani dan tanpa takut membongkar mitos-mitos Zionisme. Saat ditanya, kenapa orang Israel bisa melakukan berbagai kekejaman terhadap orang Palestina, Pappe menjawab, “Ini buah dari sebuah proses panjang pengajaran paham, indoktronasi, yang dimulai sejak usia taman kanak-kanak, semua anak Yahudi di Israel dididik dengan cara ini. Anda tidak dapat menumbangkan sebuah sikap yang ditanamkan di sana dengan sebuah mesin indoktrinasi yang kuat, yaitu menciptakan sebuah persepsi rasis tentang orang lain yang digambarkan sebagai primitif, hampir tidak pernah ada, dan penuh kebencian: Orang itu memang penuh kebencian, tapi penjelasan yang diberikan di sini adalah ia terlahir primitif, Islam, anti-Semit, bukan bahwa ia adalah seorang yang telah dirampas tanahnya. ” (Baudoin Loos, “An Interview of Illan Pappe, ” 29 Nov 1999, http://msanews. Mynet.net/Scholars/Loos/pappe. Html).
Indoktrinasi terhadap anak-anak Israel berlanjut hingga ia besar. Ayat-ayat Talmud dijadikan satu-satunya “pedoman moral” bagi mereka. Yang paling utama adalah indoktrinasi bahwa hanya bangsa Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang yang lain adalah hewan.
Sejak Usia Dini
Penanaman doktrin rasisme yang terdapat dalam Talmud dilakukan para orangtua kaum Zionis kepada anak-anak mereka sejak dini. Survei yang diadakan oleh Ary Syerabi, mantan perwira dari Satuan Anti Teror Israel, terhadap 84 anak-anak Israel usia sekolah dasar, saat dia bergabung dengan London Institute for Economic Studies, sungguh mengguncang nalar kita.