Eramuslim.com – Universitas Muhammadiyah Surakarta mengadakan International Guest Lecture dengan tema “Peran Al-Azhar Dalam Merumuskan Metodologi Tafsir Kontemporer Dan Posisinya Terhadap Hermeneutika”. Keynote Speaker pada acara ini adalah Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi yang merupakan Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Al-Azhar Mesir. Acara ini diadakan di ruang seminar Gedung Pascasarjana lantai 5 Universitas Muhammadiyah Surakarta. Acara ini diikuti sekitar 250 peserta dari kalangan dosen,mahasiswa, dan umum.
Dalam acara ini, Syekh Muhammad Salim menyampaikan bahwa untuk membahas tema ini dibutuhkan waktu yang sangat panjang, tidak cukup hanya 45 menit karena kompleksnya pembahasan. Beliau menyampaikan bahwa pembahasan ini pernah beliau tuliskan dalam salah satu karyanya yaitu Maqalatani fi al-Ta’wil yang ditulis sekitar 20 tahun yang lalu.
Dalam buku ini beliau banyak membahas dhawabit atau kaidah dalam melakukan takwil. Selain itu, Beliau juga mengkritisi beberapa pemikir muslim kontemporer yang menggunakan hermeneutik dalam melakukan takwil seperti Muhammad Arkoun, Abu al-Qasim Haj Hamad, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Beliau juga mengkritisi pembacaan teks para pemikir kontemporer yang menyalahgunakan teori maqhashid al-syari’ah dan istilah ruh al-nash (spirit teks atau ayat) untuk mendekonstruksi penafsiran Al-Qur’an utamanya dalam masalah hukum Islam, sehingga sering melahirkan produk hukum yang kontroversial.
Pemandu kegiatan ini adalah Ahmad Nurrahim Lc, M.Pd.I yang merupakan alumni Universitas Al-Azhar sekaligus merupakan dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta. Acara ini diawali dengan sambutan Dekan Fakultas Agama Islam Dr. Syamsul Hidayat, M.Ag. Beliau sangat berterima kasih atas kunjungan Prof. Dr. Muhammad Salim yang merupakan guru besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dari Universitas Al-Azhar. Beliau menyampaikan bahwa materi ini sangat penting untuk diketahui dalam rangka menemukan format metodologi penafsiran Al-Qur’an yang tepat dalam menghadapi masalah di era kontemporer ini.
Dalam penyampaiannya, Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi mengingatkan bahwa untuk memahami Al-Qur’an, dibutuhkan pemahaman yang baik terhadap bahasa Arab. Selain itu, juga menguasai ilmu alat yang lain seperti ilmu ushul fiqh. Beliau menyampaikan ini mengingat banyak yang berani berspekulasi menafsirkan ayat tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an.
Pembacaan teks Al-Qur’an di era kontemporer dengan hermeneutik menurut Syekh Muhammad Salim banyak mengesampingkan kaidah penafsiran, seperti menghilangkan peran bahasa. Selain itu, hermeneutik juga hanya mencakup penafsiran yang sifatnya realistis. Ini sama juga dengan materialis. Hal-hal ghaib seperti surga, neraka, dan hari kebangkitan dianggap bukan realitas kehidupan sehingga tidak mungkin dipahami.
Dalam hermeneutik, semua boleh dan bebas menafsirkan karena sudah menjadi hak pembacanya. Tidak ada penafsiran yang absolut. Tidak ada penafsiran yang pasti benar karena semua penafsiran boleh disalahkan, bahkan pemahaman Nabi juga bisa disalahkan. Jika Al-Qur’an mengatakan minuman keras itu haram, lalu ada yang mengatakan itu halal maka itu bebas-bebas saja. Jadi semua itu relatif. Semua hukum dalam Al-Qur’an menjadi relatif.
Oleh karena itu, Prof Muhammad Salim mengajak untuk mempelajari berbagai cabang ilmu syar’i dengan baik utamanya ilmu Ushul Fiqh yang didalamnya ada pembahasan tentang “dalalat” yang merupakan pondasi dalam memahami nash. Beliau juga mengutip perkataan Syekh al-Buti: “apabila semua bebas memelintir kata-kata dalam Al-Qur’an dari makna asal kepada yang dia inginkan, maka tidak ada yang bisa memahami Al-Qur’an lagi dengan benar dan hilanglah nilai-nilai bahasanya”. Contoh sederhananya, saya katakan “besok ujian”. Lalu anda memahami bahwa kata besok maknanya adalah sebulan lagi. Maka ini akan menjadi kacau. Jika bahasa rusak maka tidak ada yang saling memahami. Dalam balaghah Al-Qur’an ada makna haqiqi dan makna majazi. Akan tetapi tidak boleh sembarangan memahami secara majazi kecuali ada dalilnya.
Beliau melanjutkan bahwa dalam mentakwilkan Al-Qur’an harus sesuai dengan kaidah. Diantara buku yang menjelaskan masalah ini adalah kitab jam’u al-jawami. Ibnu Subkhi menyatakan bahwa takwil harus berdasarkan dalil. Setiap takwil harus ada dalilnya baik dari segi ‘aqli, lughawi, ataupun lainnya. Tidak ada takwil tanpa dalil. Bahkan beliau mengatakan jika anda mentakwil tanpa dalil maka anda telah mempermainkan Al-Qur’an. Selain itu, mentakwil juga harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Di zaman sekarang, lanjut beliau, ada yang membuat tafsir kontemporer yang menggunakan hermeneutik yang sebenarnya hanya merupakan kelanjutan dari tafsir “bathini”. Polanya adalah dengan mengajak keluar dari bahasa Al-Qur’an dan kaidah tafsir, untuk kemudian mempermainkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian Syekh Muhammad Salim melanjutkan dengan nada tanya, kenapa hermeneutika hanya untuk Al-Qur’an? Kenapa tidak ada hermeneutika dalam ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu psikologi, atau ilmu lainnya? Maka jawabannya adalah agar umat Islam terlepas dari Al-Qur’an dan hukum-hukumnya.
Di akhir sesi, diadakan sesi tanya jawab dan diskusi yang sangat hangat. Sebelum berakhir, Syekh Muhammad Salim memberikan nasihat yang sangat menyentuh untuk para penuntut ilmu. Beliau mengatakan: “Menuntut ilmu itu harus murni karena Allah. Tidak ada artinya belajar tanpa keikhlasan. Kita harus mengamalkan ilmu yang kita ketahui karena ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Amal adalah akhlak Islam. Ibnu Atho’ berkata, amal adalah bagaikan jasad, sedangkan ikhlas adalah ruhnya. Tutuplah pandangan orang padamu dengan pandangan Allah padamu (maksudnya jangan mencari kemuliaan di sisi manusia, carilah kemuliaan disisi Allah). Gunakanlah waktu dengan sebaik mungkin. Semoga kita semua khususnya yang di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta ini selalu dijaga dan diberi taufiq oleh Allah SWT”.
(Hidayatullah)