Setelah mengalami revolusi tahun 1959, Kuba membuang jauh-jauh konsep demokrasi liberal-parlementer. Namun, meski punya aspirasi sosialisme, Kuba tak serta-merta mencontek konsep politik dari negara komunis, seperti Uni Soviet dan Tiongkok, yang cenderung birokratik.
Kuba merumuskan konsep baru. Kuba mengenal tiga level kekuasaan: Majelis Kota/Kabupaten, Majelis Provinsi, dan Majelis Nasional. Majelis-majelis ini merupakan representasi kekuasaan rakyat Kuba.
Majelis Nasional Kekuasaan Rakyat, atau dalam bahasa Spanyol dinamakan Asamblea Nacional del Poder Popular, merupakan badan perwakilan yang punya kekuasaan tertinggi di Kuba. Badan ini beranggotakan 620-an orang, yang dipilih secara langsung tiap lima tahun.
Sebagai badan kekuasaan tertinggi, Majelis Nasional inilah yang menunjuk Dewan Negara (badan kolegial pelaksana kekuasaan Majelis Nasional antar Sidang), Dewan Menteri (badan eksekutif yang terdiri dari Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-Menterinya), dan Mahkamah Agung.
Jadi, Kuba itu memang tidak mengenal trias-politica ala Montesquie. Bagi Kuba, kekuasaan itu ada di tangan rakyat. Dan itu adalah Majelis Nasional Kekuasaan Rakyat.
Oh, baiklah, saya tak akan berpanjang lebar untuk menjelaskan sistim politik Kuba di artikel ini. Kalau memang ada yang butuh informasi, kita akan bahas itu di kesempatan yang lain.
Singkat cerita, meski Majelis Nasional Kekuasaan Rakyat ini badan kekuasaan tertinggi di Kuba, tetapi ini bukan jabatan yang mewah dan istimewa. Kenapa?
Jadi, setiap wakil rakyat di Kuba, atau sering disebut Majelis, baik Majelis Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten, itu tidak menerima gaji. Karena itu, setiap anggota Majelis di Kuba tetap bekerja sesuai pekerjaan atau profesi sebelum dia terpilih sebagai anggota Majelis.
Kalau dia guru, berarti tetap menjadi guru. Begitu juga dengan yang pekerja, petani, dokter, dan profesi lainnya. Mereka hanya mendapat subsidi sembako per bulannya.