“Ya, maklum mas baru datang sih jadi masih heran. Kalau di sini mah, urusan pelayanan umum kayak air, listrik, kendaraan umum, pendidikan…itu gak boleh ada cacat. Pemerintah Australia selalu merasa malu jika tidak bisa melayani warganya dengan baik,” kata Joko, si ahli akuntansi dari Kementerian Keuangan yang sedang kuliah di University of Adelaide.
“Lha, kemarin saja bis terlambat 15 menit dari biasanya, semua penumpang digratiskan,” timpal Amelia, si kutu buku asal Bandung yang kuliah di kampus yang sama. “Tuh, lihat si oma naik kursi roda, santai aja menyeberang karena memang jalan disiapkan juga untuk orang cacat sekalipun.”
Menomorsatukan Warga
Sejumlah kisah pun bermunculan, bagaimana pemerintah Australia selalu menomorsatukan warga dalam segala hal.
“Pokoknya kalo di sini mas, jangan sampai ada makhluk yang namanya manusia yang gak sekolah atau gak bisa ke rumah sakit. Semua difasilitasi. Kalau anak sudah 5 tahun, harus segera didaftar ke sekolah. Kalo gak, orang tuanya bakal kena sanksi,” timpal Sari, ibu dosen asal Aceh sedang kuliah doktoral di Flinders University.
“He-eh, biayanya pun murah ya. Bayangin, anak saya sekolah SD hanya bayar Rp1,5 juta setahun! Gak beli apa-apa lagi. Cuma beli tas doang. Buku-buku semua dari sekolah,” kataku takjub.
“Nah, itulah mas contoh pemerintah yang mengelola negaranya dengan baik. Pajak ditinggikan, tapi hasilnya memang dirasakan oleh rakyat. Infrastruktur dibuat, layanan dibagusin untuk rakyat juga. Jadi pemerintah itu ya benar-benar melayani, menyediakan, bukan sekedar ngatur,” jelas Aji yang berprofesi sebagai dosen di Surabaya.
Rasanya pembicaraan siang itu berisi sekali dan banyak memperkaya pandangan saya tentang pemerintahan yang baik (good governance) yang selama ini banyak menjadi bualan di seminar-seminar. Pikiran saya pun terbang ke tengah lautan dimana sejumlah besar orang rela mempertaruhkan nyawa, menempuh lautan ribuan kilo dengan perahu reyot demi mencapai Australia. Tak heran bila negeri ini selalu berada dalam daftar 10 besar negara paling nyaman di dunia.
Bulan lalu saya kembali terngiang dengan peristiwa di atas. Pasalnya, salah seorang teman yang mungkin juga tak kalah kaget (atau kagum) mengunggah gambar cek senilai $90 (sekitar Rp900 ribuan) di facebook.
Rupanya cek tersebut pembelian dari perusahaan operator listrik (PLN) Australia. Ia pun berkisah tentang sebuah pohon yang tumbang di depan rumah mereka sehingga aliran listrik di kawasan tersebut terganggu. Perusahaan listrik segera datang dan membereskan masalah tersebut. Listrik hanya mati sekitar setengah harian, lalu kembali normal.
Beberapa hari kemudian, semua rumah yang terkena pemadaman karena pohon tumbang tersebut mendapat kompensasi alias ganti rugi atas kejadian tersebut. Cek senilai $90 kurang lebih sama dengan pembayaran listrik selama sebulan untuk rumah ukuran sedang di Australia. Jadi, gara-gara listrik mati setengah hari, rakyat dibebaskan bayar listrik sebulan! Gimana kalau listriknya byar-pet atau mati berhari-hari ya? [kp]