“Iya pak, mohon maaf karena kami akan memutus air kira-kira setengah hari. Kami juga akan menggali lubang cukup besar di gerbang sehingga Anda mungkin akan kesulitan mengeluarkan mobil. Bapak silahkan parkir mobilnya di luar saja supaya lebih mudah jika ingin bepergian,” jelas si petugas PAM.
Saya mulai kagum dan sedikit terpana. Kok sampai seperti itu dipikirkan ya.
Belum sempat saya menjawab, ia menyambung lagi, “Sepertinya Anda sedang repot. Saya bisa bantu memarkirkan mobil jika Anda mau.”
“Oh, terima kasih. Saya akan parkir sendiri.” Saya pun bergegas ke garasi yang digunakan bersama oleh ke-delapan rumah di kompleks tersebut. Si petugas PAM tadi lalu mengetuk pintu rumah berikutnya. Sayup-sayup saya mendengar percakapan yang sama.
Saat saya mengeluarkan mobil ke jalan raya, sejumlah petugas PAM beserta kendaraan dan peralatan khusus sudah siap bekerja. Mereka menyapa dengan ramah dan membantu menghalangi kendaraan lain supaya saya bisa memarkir mobil saya di sisi jalan raya yang mulai ramai.
Karena sudah diberitahu akan ada pemutusan aliran air, kami segera mengisi wadah-wadah yang ada sebanyak mungkin. “Hebat ya, Pak. Mau mutusin air setengah hari aja pakai lapor dulu ke warga. Biasanya mah, main putus aja berhari-hari tanpa informasi,” kata istri saya yang rupanya juga terkesan dengan apa yang terjadi.
“Lha, yang biasanya itu, dimana…,” candaku sambil mengantar anak ke mobil jemputan yang sudah menunggu.
Setengah harian itu, air memang mati. Sebelum jam sebelas, air sudah jalan kembali. Iseng-iseng saya cek keluar, para petugas PAM sudah tidak ada. Bekas galian mereka pun sudah kembali rapi. Mereka sepertinya berusaha juga menanam kembali rumput-rumput yang tadinya tercabut. Ketika saya menceritakan kisah itu ke teman-teman yang lain, mereka tersenyum mahfum.