Nah, dua skema ekonomi itulah yang hingga kini belum terkelola dan tampaknya tengah diperebutkan secara silent oleh kekuatan-kekuatan global baik non-state actor maupun state actor seperti Amerika, Cina, dan lain-lain.
Sekarang kita telusuri apa skema geoekonomi nonpraktis alias proyeksi jangka panjang.
Tidak boleh dipungkiri, ketetapan lockdown selain memaksa publik meninggalkan kebiasaan offline yang bising lagi polutif, ia juga mendorong paksa publik agar familiar dengan aktivitas online. Ini mungkin tahapan skenario menuju digitalisasi budaya.
Di sini mulai terbaca sebagai konsekuensi lockdown, benak publik tidak sekedar disuguhi agenda social and physical distancing, stay at home dan lain-lain yang mengikis daya spiritual hampir semua religi, menggerus local wisdom, merapuhkan tali silahturahmi, dan tak hanya itu saja. (Publik) seperti digiring pada digitalisasi keseharian yang diduga berujung pada perubahan radikal di publik terutama mengubah alat transaksi/pembayaran dari fiat money (uang kertas) ke crypto currency (uang digital).
Geopolitik mensinyalir, terdapat kekuatan – kekuatan global terutama non-state actor di bidang online, atau bidang farmasi dan seterusnya meremot dari kejauhan supaya lockdown dijadikan satu-satunya clue yang ditetapkan WHO dengan segala konsekuensi keprotokolan.
Akhirnya, entah benar atau tidak, catatan singkat ini cuma prakiraan situasi di tengah semarak wabah dan/atau ramalan keadaan pasca pagebluk bertitel Covid-19.
Sengaja penulis hanya mengurai pola dan trend geopolitik terkait isu coronavirus tanpa menyebut siapa nama-nama di balik non-state actor, hal ini guna menghindari diskusi berkepanjangan.
Retorika pamungkas pun muncul, selama dua skema geoekonomi tadi belum juga digarap oleh siapapun, apakah berarti lockdown akan terus “diperpanjang”?
Retorita memang tidak untuk dijawab, ia hanya butuh permenungan. (end/GRI)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)