Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), padasan artinya tempayan yang diberi lubang pancuran untuk keluarnya air, biasanya juga digunakan untuk berwudhu. Di masa lalu padasan difungsikan untuk membersihkan diri, seperti mencuci tangan, kaki, dan membasuh muka. Zaman dulu hampir semua masyarakat perdesaan menyediakan padasan di depan rumahnya. Selain gentong atau tempayan yang diberi lubang, terkadang ada padasan yang dilengkapi dengan gayung berbahan tempurung kelapa atau batok. Gayung tadisional itu dalam bahasa Jawa biasa disebut siwur. Tak jarang padasan diletakkan di pinggir jalan, dengan maksud agar siapa pun yang membutuhkan air bisa mengambilnya sesuai keperluan. Seperti pejalan kaki dan orang-orang yang lewat bisa memanfaatkan air di dalam padasan itu. Nenek moyang kita yang sebagian besar sebagai petani, ketika hendak ke sawah atau menjelang siang pulang ke rumah, selalu mencuci muka dan anggota badan dulu dengan padasan.
Hal itu sebenarnya mengajarkan agar kita selalu menjaga kebersihan ketika hendak bekerja dan sebelum masuk rumah. Di masa kini, sebagai generasi penerus, -yang mungkin tidak mengenal padasan- sepertinya bisa menerapkan nilai-nilai edukatif warisan budaya Jawa itu. Yaitu saling berbagi dengan ikhlas kepada siapa saja yang membutuhkan, dengan menyediakan padasan di depan rumah masing-masing.
Masih berkutat pada jawa poin kedua yang saya uraikan yakni ritual tolak bala di Jawa. Dalam histori catatan sejarah, jauh sebelum dunia informasi membanjiri bumi, masyarakat jawa sudah mengenal mitigasi (yakni serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampaun menghadapi ancaman bencana) dengan melangsungkan ritus-ritus tradisi. Apapun jenis virus itu, asalkan berpotensi menjangkiti orang dengan jumlah banyak, maka dengan seketika disebut pageblug. Selain melakukan pengobatan semampunya, masyarakat Jawa menggelar ritual “tolak-bala” atau menolak segala jenis pageblug dengan ritus yang dipandang sakral dan wigati. Ritual itu berwujud ruwatan, dapat berbentuk pertunjukan wayang, tarian, upacara adat, larung sesaji dan laku doa bersama.
Dalam pertunjukan wayang kulit misalnya, seringkali hadir dengan ikhtiar “bersih desa”, yakni membersihkan desa dari segala macam penyakit.Ruwatan Sukerta menghadirkan wayang kulit dengan mengambil lakon-lakon khusus yang berisikan kekalahan makhluk jahat-raksasa (Bhatara Kala) oleh kebaikan. Demikian pula dengan tari Seblang di Banyuwangi, atau larung sesaji di masyarakat pesisir pantai. Apabila dibaca lebih jauh, upaya yang mereka lakukan lebih dari sekadar urusan pemenuhan kelangsungan tradisi, tetapi lebih kompleks dari itu.
Peninggalan nenek moyang yang terakhir saya ulas adalah Jamu. Jamu merupakan minuman berkhasiat dari Indonesia sebagai minuman kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Jamu disajikan dengan berbagai jenis, mengingat di Indonesia memiliki tanaman herbal berjumlah cukup banyak. Setiap daerah mempunyai jenis Jamu yang berbeda, menyesuaikan dengan tanaman herbal yng tumbuh didaerahnya.Mengolah Jamu tidak terlalu rumit, kebanyakan hanya mengambil sari dari perasan tumbuhan herbal. Ada juga dengan ditumbuk. Seringkali berbahan dasar kunyit, temulawak, lengkuas, jahe, kencur, dan kayu manis. Khusus gula jawa, gula batu, dan jeruk nipis biasanya digunakan sebagai penambah rasa segar dan rasa manis.
Uniknya, dalam pembuatan jamu juga disesuaikan takaran tiap bahan, suhu, lama menumbuk atau merebus, dan lainnya. Jika tidak diperhatikan dengan baik, akan kehilangan khasiat dari bahan-bahannya bahkan bisa membahayakan tubuh. Begitu juga dengan perkembangannya, tradisi minum Jamu mengalami pasang surut sesuai zamannya. Secara garis besar terbagi dari zaman pra-sejarah saat pengolahan hasil hutan marak berkembang, zaman penjajahan jepang, zaman awal kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini.
Masyarakat Indonesia sejak zaman Kerajaan Mataram hingga kini masih menggunakan Jamu. Minuman khas Indonesia ini telah menjadi kebanggaan tersendiri seperti halnya dengan Ayurveda dari India dan Zhongyi dari Cina. Sejak saat itu, perempuan lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan herbal alami. Fakta itu diperkuat dengan adanya temuan artefak Cobek dan Ulekan –alat tumbuk untuk membuat jamu. Artefak itu bisa dilihat di situs arkeologi Liyangan yang berlokasi di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Selain artefak Cobek dan Ulekan, ditemukan juga bukti-bukti lain seperti alat-alat membuat jamu yang banyak ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta, tepatnya di Candi Borobudur pada relief Karmawipangga, Candi Prambanan, Candi Brambang, dan beberapa lokasi lainnya. Konon, di zaman dulu, rahasia kesehatan dan kesaktian para pendekar dan petinggi-petinggi kerajaan berasal dari latihan dan bantuan dari ramuan herbal.
Seiring perkembangannya, tradisi minum Jamu sempat mengalami penurunan. Tepatnya saat pertama kali ilmu modern masuk ke Indonesia. Saat itu kampanye obat-obatan bersertifikat sukses mengubah pola pikir masyarakat Indonesia sehingga minat terhadap Jamu menurun. Selain soal standar atau sertifikat, khasiat dari Jamu pun turut dipertanyakan.
Pada masa penjajahan Jepang, sekitar tahun 1940-an, tradisi minum Jamu kembali populer karena telah dibentuknya komite Jamu Indonesia. Dengan begitu, kepercayaan khasiat terhadap Jamu kembali meningkat. Berjalannya waktu, penjualan Jamu pun menyesuaikan dengan teknologi, diantaranya telah banyak dikemas dalam bentuk pil, tablet, atau juga bubuk instan yang mudah diseduh. Saat itu berbenturan dengan menurunnya kondisi pertanian Indonesia yang mengakibatkan beralihnya ke dunia industri termasuk industri Jamu (baca: industri Fitofarmaka).